Sosok.ID - Wilayah Timor Timur, atau yang kini disebut sebagai Timor Leste, pernah diduduki oleh Indonesia selama nyaris 24 tahun lamanya selama kependudukan Presiden Soeharto.
Invasi Timor Timur yang ditandai dengan Operasi Seroja dimulai pada 7 Desember 1975.
Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia melalui referendum yang disponsori PBB pada tahun 1999.
Mayoritas rakyat Timor Timur ketika itu memilih untuk merdeka dari Indonesia.
Selama kependudukan Indonesia di Timor Timur, ratusan ribu jiwa tewas, menandai sejarah genosida terbesar di abad ke-20.
Wikipedia mencatat jumlah korban tewas menurut laporan PBB mencapai 146.000 jiwa selama tahun 1975-1980.
Sementara isu lain menyebutkan lebih dari 200.000 warga Timor Timur tewas di tangan tentara Indonesia.
Dikutip dari pemberitaan Intisari Online, sekira pada Desember 1975 hingga Desember 1981, rata-rata 308 orang Timor kehilangan nyawa mewakili 44% dari 696.000 jiwa di wilayah sebelum invasi.
Konon, jumlah ini dianggap memiliki persentase terbanyak daripada pembantaian orang Yahudi oleh Nazi.
Pembantaian Yahudi berada di angka 5.250.000 dari mewakili 33% dari 15.750.000 orang, presentase ini lebih kecil daripada pembantaian di Timor Leste.
Namun, dunia tidak menyoroti pembantaian Timor Leste atau yang dikenal sebagai genosida Timor Timur, sebesar sorotan pada pembantaian Yahudi oleh Nazi.
Bahkan, Intisari menyebut, pembantaian ini ditutup dengan rapi, di mana hampir sebagian besar politisi dunia memilih untuk bungkam.
Sebuah tulisan berjudul "East Timor: A People Shattered By Lies and Silence," yang ditulis oleh Prof. Antonio Barbedo de Magelhaes, dari Universitas Oporto Portugal menyoroti masa invasi Indonesia ke Timor Timur.
Invasi ini, disebut bukan hanya menjadi bencana besar bagi rakyat Timor Timur, tapi juga bagi politisi Australia, Amerika Serikat, dan bahkan Indonesia.
Banyak politikus dunia memilih untuk melupakan masalah ini demi mengkondisikan modernisasi politiknya, dan mempengaruhi citra internasionalnya.
Dr. Henry Alfred Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, mempresentasikan bukunya sendiri, "Diplomacy" di New York pada 11 Juli 1995.
Dia disebut tidak membongkar mengenai apa yang terjadi di Timor Timur.
"Timor tidak pernah berdiskusi dengan kami ketika kami berada di Indonesia", ujar Kissinger.
Menurut dia, Indonesia sempat memberi tahu bahwa mereka akan menduduki Timor Timur, tetapi Amerika tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang penting.
"Di bandara, ketika kami pergi, orang Indonesia memberi tahu kami bahwa mereka akan menduduki jajahan Portugis di Timor," katanya.
"Bagi kami itu tampaknya tidak seperti peristiwa yang sangat penting," lanjut dia.
Kissinger menyoroti kasus ketika India menduduki wilayah bekas jajahan Portugis di Goa yang menurutnya serupa dengan apa yang akan Indonesia lakukan.
"Karena orang India telah menduduki koloni Portugis di Goa sepuluh tahun sebelumnya dan bagi kami itu tampak seperti proses dekolonisasi."
"Jadi, ketika orang Indonesia memberi tahu kami, kami tidak mengatakan ya atau tidak, kami benar-benar di bandara," jelasnya.
Hadir dalam ruangan yang sama dengan Kissinger, jurnalis Amerika bernama Allan Nairn yang mengaku dipukuli habis-habisan oleh tentara Indonesia.
Disebutkannya, tentara Indonesia membunuh lebih dari dua ratus demonstran Timor Timur di Santa Cruz, Dili, pada tahun 1991.
Dalam percakapan Kissinger dan Allan Nairn, muncul asumsi bahwa Amerika diduga mendukung invasi Indonesia ke Timor Timur.
Meski secara rahasia, dukungan itu tidak diungkapkan ke publik.
"Dengar, saya pikir kita semua mengerti sekarang," ujar Kissinger.
Nairn lantas bertanya kepada Kissinger mengenai pengabaian tindakan Indonesia di Timor Timur, dan apa yang disampaikan Presiden Gerald Ford kepada Soeharto.
"Pertanyaan saya, Dr. Kissinger, ada dua," ujar Nairn.
"Pertama, apakah Anda akan memberikan pengabaian di bawah undang-undang privasi untuk mendukung deklasifikasi penuh memo ini sehingga kami dapat melihat dengan tepat apa yang Anda dan Presiden Ford katakan kepada Suharto?"
"Kedua, apakah Anda akan mendukung mengadakan pengadilan kejahatan perang internasional di bawah pengawasan PBB tentang masalah Timor Timur dan apakah Anda setuju untuk mematuhi putusannya sehubungan dengan perilaku Anda sendiri?," tanya Nairn kepada Kissinger.
Kissinger menjawabnya dengan menyebutkan bahwa apa yang terjadi antara Timor Timur dan Indonesia bukan merupakan masalah kebijakan Amerika yang signifikan.
"Maksud saya, eh, sungguh, komentar semacam ini adalah salah satu alasan mengapa pelaksanaan kebijakan luar negeri menjadi hampir mustahil dalam kondisi ini," katanya.
"Inilah orang yang punya satu obsesi, dia punya satu masalah, dia mengumpulkan sekelompok dokumen, Anda tidak tahu apa yang ada di dokumen-dokumen ini."
"Faktanya pada dasarnya seperti yang saya gambarkan Timor bukanlah masalah kebijakan Amerika yang signifikan jika Suharto mengangkatnya, jika Ford mengatakan sesuatu, itu terdengar menggembirakan, itu bukan masalah kebijakan luar negeri Amerika yang signifikan."
Selain itu menurut Kissinger, Amerika ketika itu tidak memiliki alasan untuk ikut campur atas invasi Indonesia di Timor Timur.
"Masalah anti-kolonial di mana orang Indonesia mengambil alih Timor dan kami sama sekali tidak punya alasan pada waktu itu untuk menaruh perhatian besar terhadapnya."
Kissinger juga menyinggung mengenai Indonesia sebagai negara kunci di Asia Tenggara, dan Amerika enggan mencari masalah dengan negara yang ketika itu dipimpin oleh Presiden Soeharto.
"Kedua, Anda harus memahami hal-hal ini dalam konteks periode Vietnam baru saja runtuh."
"Belum ada yang tahu apa efek teori domino: Indonesia adalah negara kunci di Asia Tenggara. Kami tidak mencari masalah dengan Indonesia," katanya.
Bukan cuma itu, Kissinger juga mengakui bahwa Amerika tidak membawa masalah Indonesia dan Timor Timur untuk menjadi perhatian dunia.
"Dan alasan saya keberatan di Departemen Luar Negeri untuk meletakkan hal ini, kemudian mengarah pada beberapa konfrontasi publik dan posisi mendasar tentang masalah Hak Asasi Manusia ini adalah selalu mencoba mendiskusikannya terlebih dahulu, diam-diam, sebelum berubah menjadi konfrontasi publik," tandas dia.
(*)