Sosok.ID - Pada 2 April 2021, Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan Amerika Serikat (AS) secara resmi mengatakan kepada Kongres mengenai rencana menjual kapal patroli militer "bersejarah" ke Indonesia.
Rencana kontroversial itu telah memicu tanggapan beragam dari para pegiat.
Banyak yang beranggapan bahwa kapal itu harusnya ditempatkan di museum, bukan malah di Indonesia
Dikutip Sosok.IDdari South China Morning Post (SCMP), rencana penjualan tersebut dianggap mencerminkan komitmen AS untuk membangun kemampuan maritim negara-negara Asia Tenggara untuk melawan China.
Akan tetapi par ahli menyarankan, Indonesia mungkin lebih baik membeli kapal baru daripada kapal AS yang sudah dinonaktifkan.
Kapal patroli militer yang bakal dijual AS untuk Indonesia itu adalah kapal pemotong Coast Guard Adak dan Aquidneck.
Harga untuk penjualannya sendiri masih dirahasiakan.
Kapal Adak digunakan dalam evakuasi sekitar 500.000 orang dari Lower Manhattan setelah serangan 11 September 2001 di New York.
MelansirWikipedia, serangan 11 September atau serangan 9/11 adalah serangkaian empat serangan bunuh diri yang telah diatur terhadap beberapa target di New York City dan Washington, D.C. pada 11 September 2001.
Selain terlibat dalam evakuasi serangan 9/11, kapal Adak dengan tinggi 110 kaki itu juga merupakan salah satu dari empat kapal pemotong yang dikerahkan ke Irak selama invasi pimpinan AS.
Mengutip SCMP, kapal tersebut akan ditawarkan secara resmi kepada Indonesia 30 hari setelah Kongres diberitahu mengenai rencana itu.
Dalam pernyataannya kepada The New York Post, disebutkan bahwa keputusan pemindahan kapal pemotong ke Indonesia dilakukan "untuk mencapai kepentingan keamanan nasional AS" dan telah berkoordinasi dengan TNI AL sejak Februari.
Hal ini berkaitan dengan sengketa di Laut China Selatan, di mana AS membutuhkan dukungan negara Asia untuk pecundangi China.
Saat dimintai pendapat oleh South China Morning Post, Angkatan Laut Indonesia tidak segera memberikan komentarnya.
Seorang pejabat dari tim media angkatan laut juga mengatakan dia tidak mengetahui rencana tersebut.
Di sisi lain Kepala Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla), Aan Kurnia, mengatakan kepada This Week in Asia bahwa ia belum memantau rencana Indonesia membeli kapal patroli dari AS.
“Kami akan meningkatkan armada penjaga pantai dengan kapal-kapal baru,” katanya melalui pesan singkat.
Bersama angkatan laut dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bakamla adalah salah satu lembaga yang bertugas memantau garis pantai Indonesia yang sangat luas, yang membentang lebih dari 95.000 km.
Bakamla saat ini memiliki 10 kapal patroli, tetapi Aan tahun lalu mengatakan mereka membutuhkan setidaknya 67 kapal lagi untuk menjaga perairan Indonesia dengan baik.
Dalam sengketa di Laut China Selatan, posisi Indonesia bukan sebagai penggugat.
Tetapi zona ekonomi eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Natuna tumpang tindih dengan "garis putus-putus" yang diklaim Beijing.
Sementara itu, pelabuhan asal Adak ada di Sandy Hook, New Jersey. Kapal ini pertama kali ditugaskan pada tahun 1989 dan saat ini bersandar di Bahrain.
Kapal tersebut dijadwalkan akan dinonaktifkan pada bulan Juli dan USCGC Adak Historical Society telah menyerukan agar kapal tersebut diubah menjadi tugu peringatan dan museum di Tampa Bay, Florida.
Kelompok tersebut telah memulai petisi online untuk mencegah kapal tersebut dijual ke Indonesia, dan lebih dari 7.600 orang telah menandatanganinya.
"Kapal pemotong Coast Guard Adak adalah kapal bersejarah dan layak untuk pulang," kata petisi tersebut, yang ditujukan kepada Coast Guard AS dan Presiden Amerika Joe Biden.
"Kami memiliki rencana untuk menjadikan USCGC Adak sebagai museum untuk memamerkan sejarah Penjaga Pantai dan berfungsi sebagai tugu peringatan 9/11," bunyi petisi itu.
Melalui situs webnya,kelompok itu bahkan menyebut Indonesia sebagai negara Islam radikal, menolak keras penjualan kapal bersejarah itu ke Jakarta.
"Jika kita gagal dalam tujuan kita, peringatan dan penghormatan 9/11 akan menjadi piala bagi negara yang dilanda terorisme Islam radikal, pelanggaran hak asasi manusia, dan pengabaian total terhadap perlindungan lingkungan," tulis mereka.
Baca Juga: Buntut Coast Guard China Terobos Natuna Utara, Kemenlu Negeri Tirai Bambu Angkat Bicara
Adapun kampanye kelompok itu telah sampai di telinga anggota Kongres AS.
Dua dari Partai Republik dan satu dari Demokrat turut mengirim surat ke Departemen Luar Negeri, meminta agar penjualan yang direncanakan dipertimbangkan kembali.
Mantan anggota Coast Guard AS, James Judge yang menghabiskan 13 bulan bersama Adak di Irak, bahkan mengatakan kelompoknya siap membeli kapal itu atau menutupi biaya, demi mengembalikan kapal tersebut ke Amerika.
Penjualan kapal patroli ke Indonesia sejalan dengan strategi Indo-Pasifik pemerintahan Biden dalam melibatkan sekutu Asia untuk menghadapi pengaruh dan ketegasan China yang semakin meningkat.
Indonesia bukan bagian dari Quad yang dipimpin AS -yang mencakup AS, India, Australia, dan Jepang- yang dibentuk untuk memperkuat hubungan keamanan guna melawan China.
Zachary Abuza, profesor di National War College di Washington, mengatakan Indonesia adalah negara ketiga di Asia Tenggara yang dialokasikan untuk bantuan AS di bawah Indo-Pacific Maritime Security Initiative (MSI).
"China telah menggunakan penjaga pantai dan milisi maritim mereka dengan sangat efektif," kata Abuza.
“Untuk klaim mereka di Laut China Selatan, itu lebih penting daripada angkatan laut (Tentara Pembebasan Rakyat). Jadi Amerika jelas ingin membangun kemampuan penjaga pantai di beberapa negara Asia Tenggara.
"Menerima peralatan penjaga pantai lebih dapat diterima dan tidak terlalu mengancam daripada peralatan angkatan laut, jadi saya pikir itu cocok dengan strategi AS dengan sangat efektif."
Kongres AS juga sebagian besar mendukung kapal patroli AS disumbangkan ke negara-negara Asia Tenggara, dan dukungan itu "sangat bipartisan", kata Abuza.
Filipina dan Vietnam telah menjadi penerima utama: keduanya telah menerima dua pemotong Penjaga Pantai kelas Hamilton. Namun, Indonesia kurang bersedia menerima pendanaan MSI Indo-Pasifik.
Abuza juga menyoroti tragedi tenggelamnya KRI Nanggala-402 yang membuat gugur 53 awak di dalamnya.
Abuza menyebut kemampuan maritim Indonesia sangat terbatas, mengingat besarnya domain maritimnya.
Menurut dia, Indonesia membutuhkan sistem pengawasan maritim yang ditingkatkan untuk memantau kapal di perairannya dan untuk memerangi penangkapan ikan ilegal, penyelundupan, serbuan kapal asing, dan aktivitas ilegal lainnya.
Oleh karena itu dikatakannya, Indonesia akan lebih baik membeli kapal baru karena retrofit kapal AS yang dinonaktifkan akan terlalu mahal.
"Alasan AS menonaktifkan kapal-kapal ini adalah karena mereka tua dan mahal untuk dioperasikan," kata Abuza.
Alih-alih kapal, Abuza menyoroti ada hal-hal lain yang diperlukan Indonesia dari AS untuk meningkatkan kebutuhan kapal militer.
"Ada hal-hal lain yang dapat disediakan oleh Amerika yang jauh lebih penting bagi Indonesia, seperti radar dan jenis peralatan pengawasan lainnya," tandas dia. (*)