Sosok.ID - Laporan awal penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dirilis oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Mengacu pada data BMKG, pesawat tersebut dikatakan tidak terbang melalui awan hujan, juga tidak berada dalam awan yang berpotensi menimbulkan guncangan.
Sementara preliminary report atau laporan awal berdasar data yang terekam kotak hitam mendeteksi adanya anomali.
Diberitakan Kompas.com, dalam laporan awal yang berdasar pembacaan kotak hitam Flight Data Recorder (FDR) tersebut, KNKT mengungkap adanya anomali di perangkat throttle pesawat Boeing 737-500.
Throttle adalah tuas untuk mengatur tenaga yang dikeluarkan mesin di pesawat, tempatnya berada di tengah kokpit antara kursi pilot dan kopilot, karena dioperasikan oleh keduanya.
Jumlah tuas throttle juga bergantung pada jumlah mesin di pesawat. Jika pesawat memiliki dua mesin, maka jumlah throttle ada dua. Jika pesawat memiliki empat mesin, jumlah tuas throttle di kokpit juga ada empat.
Untuk pesawat B737-500 Sriwijaya Air sendiri, menggunakan dua mesin, sehingga tuas throttle di kokpit ada dua buah.
KNKT menyebut, setelah ketinggian sekitar 10.000 kaki, tuas sebelah kiri (yang terhubung dengan mesin kiri) bergerak mundur atau mengurangi tenaga, sementara tuas throttle sebelah kanan tetap.
KNKT juga menjelaskan bahwa pesawat masih menggunakan mode autothrottle, artinya besaran tenaga (thrust) yang dikeluarkan mesin diatur oleh komputer di pesawat.
Saat autothrottle dipasang (engage), komputer pesawat akan mengatur besaran keluaran daya mesin (thrust) yang dibutuhkan. Di pesawat Boeing, tuas throttle akan bergerak sendiri maju-mundur menyesuaikan komputer.
Cara kerjanya misalnya, jika pilot mengatur kecepatan pesawat adalah 210 knots di komputer pesawat, maka komputer akan melihat parameter kecepatan, jika di bawah 210 knots, maka autothrottle akan menambah daya mesin, kedua tuas throttle akan bergerak maju.
Sebaliknya, jika indikator kecepatan saat itu ternyata lebih dari 210 knots, maka autothrottle akan mengurangi daya mesin, otomatis kedua tuas throttle akan bergerak mundur.
Begitu juga jika pilot ingin menambah/mengurangi ketinggian jelajah, maka autothrottle akan menyesuaikan daya yang dibutuhkan untuk mencapai ketinggian tersebut.
Jika salah satu tuas throttle bergerak mundur, sehingga mengurangi daya dorong mesin, sementara tuas yang satu tetap, maka akan terjadi apa yang disebut thrust imbalance (daya dorong yang tidak seimbang).
Mengenai thrust imbalance ini, Tenaga Ahli KNKT Kapten Prita Wijaya, dalam konferensi pers pada Rabu (10/2/2021), mengatakan memang terjadi perbedaan thrust, tetapi ia juga mengatakan bahwa mesin kanan dan kiri tetap bekerja dengan normal.
Pihak KNKT belum menentukan apakah mesin yang kanan atau kiri yang mengalami anomali di sisi autothrottle.
"Yang kita lihat memang berbeda (thrust), tapi mengapanya (bisa terjadi) masih didalami," ujar Kapten Prita.
Sementara Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono mengatakan bahwa ada 13 komponen lain yang terkait dengan gerakan autothrottle ini.
"Mengapa anomali, penyebabnya komponen yang mana, kami belum bisa menentukan," kata Sorjanto.
Sorjanto kemudian mengatakan masih ada komponen-komponen lain yang dikirim KNKT untuk penelitian lebih lanjut. (Reska/Kompas.com)
Pesawat tidak melewati awan berpotensi guncangan
Sementara itu mengacu pada data cuaca yang diperoleh KNKT dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), pesawat tersebut tidak melalui area awan hujan ketika terbang.
Pesawat juga tidak berada dalam awan yang berpotensi menimbulkan guncangan.
"Bahwa pesawat ini tidak melalui area dengan awan yang signifikan dan bukan area awan hujan, juga tidak berada in-cloud turbulence atau di dalam awan yang berpotensi menimbulkan guncangan," kata Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Kapten Nurcahyo Utomo, dalam konferensi pers daring, Rabu (10/2/2021).
Disampaikan KNKT bahwa pesawat ini mulai tinggal landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Banten, pada pukul 14.36 WIB menuju ke Bandara Supadio, Pontianak.
Setelah itu, flight data recorder (FDR) merekam bahwa sistem autopilot aktif di ketinggian 1.980 kaki.
Pesawat terus naik dan pada ketinggian 8.150 kaki tuas pengatur tenaga mesin (throttle) sebelah kiri bergerak mundur dan tenaga mesin juga ikut berkurang. Sedangkan mesin sebelah kanan tetap.
Pukul 14.38.51 WIB, karena kondisi cuaca, pilot meminta kepada pengatur lalu lintas udara (ATC) untuk berbelok ke arah 75 derajat. Permintaan ini diizinkan oleh ATC.
Perubahan arah ini diperkirakan ATC akan menyebabkan Sriwijaya SJ 182 bertemu dengan pesawat lain yang berangkat dari Soekarno-Hatta landasan selatan dengan tujuan sama. Oleh karenanya, Sriwijaya SJ 182 diminta berhenti naik di ketinggian 11.000 kaki.
Selanjutnya, ketika melewati ketinggian 10.600 kaki pada pukul 14.39.47 WIB, pesawat berada pada arah 46 derajat dan mulai berbelok ke kiri.
Saat itu, tuas pengatur tenaga mesin sebelah kiri kembali bergerak mundur, sedangkan yang kanan masih tetap.
ATC kemudian memberi instruksi Sriwijaya SJ 182 untuk naik ke ketinggian 13.000 kaki dan dijawab oleh pilot pada jam 14.39.59 WIB.
"Ini adalah komunikasi terakhir yang terekam di rekaman komunikasi pilot ATC di Bandara Soekarno-Hatta," ujar Nurcahyo.
Pukul 14.40.05, FDR merekam ketinggian tertinggi pesawat yakni 10.900 kaki. Setelah ketinggian ini, pesawat mulai turun dan autopilot tidak aktif.
Arah pesawat pada saat itu berada pada 16 derajat dengan sikap pitch up atau hidung pesawat pada posisi naik. Pesawat pun mulai miring ke kiri.
Ketika itu, tuas pengatur tenaga mesin sebelah kiri kembali berkurang, sedangkan yang kanan masih tetap.
Pukul 14.40.10 FDR mencatat auto-throttle tidak aktif dan posisi pesawat menunduk.
"Sekitar 20 detik kemudian FDR berhenti merekam data," kata Nurcahyo.
Seperti diketahui, pesawat Sriwijaya Air SJ 182 sempat dinyatakan hilang sebelum ditemukan jatuh di kepulauan Seribu pada Sabtu (9/1/2021).
(Fitria Chusna/Kompas.com)