Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Kekejaman China Terbongkar Lagi, Lebih dari 95.000 anak atau Semua Anak Etnis Muslim Uighur di Kota Ini Harus Terlantar, Ternyata Ini Penyebabnya!

Andreas Chris Febrianto Nugroho - Sabtu, 17 Oktober 2020 | 14:05
Kekejaman China Terbongkar Lagi, Lebih dari 95.000 anak atau Semua Anak Etnis Muslim Uighur di Kota Ini Harus Terlantar, Ternyata Ini Penyebabnya!
CP24

Kekejaman China Terbongkar Lagi, Lebih dari 95.000 anak atau Semua Anak Etnis Muslim Uighur di Kota Ini Harus Terlantar, Ternyata Ini Penyebabnya!

Sosok.ID - Sudah bukan rahasia lagi, Pemerintah China dicecar oleh banyak negara lantaran kenekatan mereka.

Kenekatan tersebut berhubungan dengan salah satu suku yang menjadi bagian dari negara Tirai Bambu.

Etnis Uighur di China memang disebut-sebut mendapat perlakuan berbeda dari pemerintah di sana.

Bahkan pemerintahan Xi Jinping kini dikecam setidaknya oleh 39 Negara.

Baca Juga: Ditegur Soal Muslim Uighur, China 'Mengamuk' pada Jerman: Berhenti Campuri Urusan Dalam Negeri Kami!

Hal itu lantaran perlakuan tak manusiawi yang dilakukan oleh pemerintah China pada etnis muslim Uighur di sebuah daerah bernama Xinjiang.

Baru-baru ini beberapa analisis yang dilakukan oleh seorang peneliti menemukan akibat dari kekejaman pemerintah China pada etnis Uighur.

Seorang peneliti bernama Adrian Zenz mengungkapkan lebih 9.500 anak harus terlantar.

Di salah satu daerah bernama Yarkand yang mayoritas dihuni oleh etnis Uighur, ribuan anak harus terlantar tak diasuh orang tua mereka.

Baca Juga: Citra Satelit Tunjukkan Ribuan Masjid Uighur Hancur Dibantai Otoritas China, Investigasi Temukan Puluhan Kuburan Remuk Sisa Kerangka

Hal tersebut lantaran kekejaman yang dilakukan pada para orang tua dari anak-anak tersebut yang dilakukan oleh pemerintah China.

Melansir dari The Guardian, (16/10/2020) data menunjukkan semua anak di kota tersebut harus berpisah setidaknya dengan salah satu orang tuanya lantaran ditahan oleh pemerintah China.

Orang tua dari bocah-bocah malang tersebut kini harus mendekam di sebuah pusat penahanan yang juga disebut sebagai pusat pendidikan ulang.

Zenz mengatakan, "Strategi Beijing untuk menundukkan minoritas yang tidak patuh sedang bergeser dari penahanan ke mekanisme kontrol sosial jangka panjang. Di garis depan upaya ini adalah perebutan hati dan pikiran generasi selanjutnya."

Baca Juga: Muslim Uighur Dibelenggu Rantai hingga Dicekoki Obat oleh Polisi China, Malaysia Tegas Tak Bakal Ektradisi Pengungsi meski Xi Jinping Memohon!

Oleh penahanan tersebut hampir semua anak di kota Yarkand harus ditempatkan di panti asuhan negara atau sekolah asrama dengan keamanan tingkat tinggi.

Hampir semua kelas dan interaksi harus menggunakan bahasa Mandarian, bukan Uighur.

Menurut penelitian Zenz, ada total 880.500 anak yang hidup di fasilitas asrama pada tahun 2019.

Jumlah itupun disebut meningkat sebesar 76 persen sejak tahun 2017 karena sistem penahanan China diperluas.

Dampak penahanan terhadap anak-anak dan struktur keluarga menjadi salah satu aspek yang kurang diperhatikan dalam kebijakan China di Xinjiang.

Baca Juga: Terbongkar! Cara Sadis China Lakukan Lockdown Bagi Orang-orang Uighur, Ditelanjangi dan Diguyur Disinfektan Mendidih: Kulit Mengelupas...

Presiden China, Xi Jinping
Xinhua

Presiden China, Xi Jinping

Laporan saksi yang berada di luar China menunjukkan adanya hal yang disebut para pakar sebagai kebijakan sistematis pemisahan keluarga.

Menurut Economist yang pertama menerbitkan temuan Zenz, jika jumlah dari daerah Yarkand diekstrapolasi ke seluruh Xinjiang, jumlah anak di bawah umur 15 tahun yang salah satu atau kedua orangtuanya ditahan bisa mencapai 250.000.

Bahkan ada beberapa kasus dimana anak-anak di kota tersebut harus terpisah dari kedua orang tuanya dan bahkan dengan saudaranya lantaran ditempatkan di panti asuhan.

Sedang orang tuanya harus menjalani masa tahanan lantaran mereka dianggap bersalah oleh pemerintah China.

Baca Juga: Keterlaluan! Setelah Muslim Uighur, Budha di Tibet dan Umat Kristen, China Gempur Vatikan Diduga Bagian dari Rencana Komunisme

Sementara itu, sebelumnya China juga menjadi sorotan publik dunia setelah isu mengenai penghancuran ribuan masjid dilakukan oleh pemerintahan Xi Jinping.

Sebuah lembaga think tank (wadah pemikir) Australia pada Jumat, (25/9/2020), mengatakan pihak berwenang China telah menghancurkan ribuan masjid di Xinjiang.

Kelompok hak asasi mengatakan ada lebih dari 1 juta etnis Uighur dan etnis Muslim berbahasa Turki lainnya yang ditawan di kamp penahanan di wilayah barat laut tersebut.

Dilansir dari Channel News Asia, (25/9/2020), mereka ditekan agar menghentikan aktivitas tradisional dan keagamaan.

Ada sekitar 16.000 masjid yang telah dihancurkan atau dirusak, menurut laporan Australian Strategic Policy Institute (ASPI).

Baca Juga: Bendung Pengaruh China, Jepang Ingin Jalin Kerjasama Segala Bidang dengan Indonesia

Laporan itu menyebut mayoritas penghancuran terjadi dalam tiga tahun terakhir dan diperkirakan ada 8.500 masjid yang telah hancur sepenuhnya, dan ada lebih banyak kerusakan di luar pusat Kota Urumqi dan Kashgar.

Banyak masjid yang lolos dari penghancuran disingkirkan kubah dan menaranya, menurut laporan itu.

Diperkirakan ada kurang dari 15.500 masjid (utuh dan rusak) yang masih berdiri di Xinjiang.

Jika benar, jumlah tersebut menjadi jumlah masjid paling sedikit di Xinjiang sejak dekade pergolakan nasional yang dipicu oleh Revolusi Kebudayaan.

Baca Juga: Tiga Perintah Xi Jinping Kepada Militer China, Bersiap Perang Menghadapi Amerika!

Melansir dari AFP bahkan pada tahun lalu mendapati puluhan makam di wilayah tersebut telah dihancurkan.

Hal tersebut membuat sisa-sisa kerangka manusia dan batu bata dari makam yang rusak tersebar ke seluruh tempat.

Namun pemberitaan tersebut dibantah langsung oleh pemerintah China dengan mengatakan pemerintahan mendukung penuh kebebasan beragama.

Bahkan, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin pada pekan lalu mengatakan ada sekitar 24.000 masjid di Xinjiang, jumlah masjid per orang yang "lebih tinggi daripada di banyak negara Muslim". (*)

Source :Channel News Asia afp economist.com The Guardian

Editor : Sosok

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

x