Sosok.ID - Virus corona masih menjadi perhatian bagi banyak negara internasional lantaran semakin banyaknya korban jiwa yang berjatuhan.
Indonesia menjadi salah satu negara yang tanggap saat pertama kali virus yang memiliki nama Covid-19 itu merebak pertama kali di wilayah Wuhan provinsi Hubei, China bulan Desember lalu.
Evakuasi terahadap Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di provinsi Hubei tersebut dikatakan berhasil.
Sebab semua WNI termasuk dengan petugas penjemput kembali ke tanah air dengan selamat dan bebas dari virus mematikan tersebut.
Namun ternyata, kabar evakuasi WNI dari China itu menyisakan banyak pertanyaan.
Masih terdapat tujuh WNI yang belum ikut serta dievakuasi dari wilayah awal penyebaran virus tersebut.
Salah seorang warga Indonesia yang juga tak bisa ikut serta pesawt penjemput dari tanah air baru-baru ini angkat bicara mengenai kabar evakuasi itu.
Humaidi Zahid (29) adalah mahasiswa Linguistik pascasarjana di Universitas Central China Normal di Wuhan.
Ia mengatakan bahwa tiga dari 7 WNI yang tak ikut dievakuasi memang menyatakan diri untuk tetap tinggal di sana saat tim evakuasi tiba.
Sementara keempat WNI termasu Humaidi tak sempat masuk ke pesawat Batik Air yang menjadi transportasi penjemput kala itu lantara ada berbagai kendala.
Melansir dari Kompas.com, Humaidi menceritakan pengalamannya tak bisa masuk ke pesawat penjemput saat kawan-kawan lain saat ini telah bisa berkumpul dengan keluarga di Indonesia.
Ketika tim evakuasi datang, dirinya dan dua teman lainnya bisa sampai ke bandara dan bersiap untuk masuk ke pesawat.
Namun sebelum masuk ke pesawat terdapat beberapa pemeriksaat kesehatan terlebih dahulu, termasuk dirinya juga harus diperiksa.
Pertama-tama para WNI diminta mengisi formulir terkait kesehatan mereka, di situ titik awal menurutnya yang menjadi penyebab ia tak jadi dievakuasi pulang ke tanah air.
Saat itu Humaidi mengisi kolom keterangan sedang menderita batuk hingga membuatnya tertahan tak bisa masuk ke pesawat.
Humaidi diminta untuk cek suhu tubuh sebanyak empat kali bersama kedua temannya karena kedua temannya itu juga memiliki suhu tubuh tinggi.
Mereka bertiga pada akhirnya tidak bisa dievakuasi."Saya tidak tahu media-media di Indonesia dapat info dari mana. Ada media yang mengatakan WNI di Wuhan sebanyak 7 orang. 4 orang memutuskan tinggal, sedangkan 3 lainnya tertahan. Nah, itu kan info yang salah. Justru 4 orang itulah termasuk saya yang ingin pulang. Sedangkan 3 orang lainnya memang memutuskan tinggal."
"Saya juga sedih dengan nasib teman saya di Jingzhou (Kris) yang juga ketinggalan evakuasi. Dia perempuan lho, seorang diri di sana. Nangis-nangis dia. Lalu berita yang salah itu muncul membuat kami merasa Indonesia telah melupakan kami. Untung saja saya dan dua teman lain juga tertinggal, jadi Kris tidak merasa sendiri," ungkap Humaidi dalam wawancaranya melalui aplikasi WeChat, yang dikutip dari Kompas.com.
Meski kecewa terhadap layanan evakuasi pemerintah Republik Indonesia, Humaidi mengaku kalau dirinya dan kawan-kawan mendapatkan bantuan logistik berupa obat-obatan dan masker.
"Masker sekarang langka. Jadi pihak KBRI mengirimkan kami masker dan obat-obatan. Juga mengirimkan uang."
Sampai saat ini, Humaidi sudah mendapatkan bantuan uang sebanyak tiga kali.
Terakhir bantuan dana yang diberikan pemerintah RI sebesar 1.500 yuan China atau setara dengan Rp 2,9 juta.
"Saya hanya tidak habis pikir, kenapa kok karena batuk saja tidak bisa dievakuasi, karena hanya suhu tubuh tinggi saja tidak bisa pulang."
Humaidi juga menjelaskan kalau dirinya saat itu sangat yakin bisa dievakuasi karena dia berpikir, "Yang jemput kan pemerintah, saya saat itu yakin sekali bisa pulang. Saya yakin mereka bisa evakuasi saya. Tapi nyatanya tidak. Sekelas negara lho, masa sih tidak ada power?" ujar Humaidi dengan intonasi bicara yang terdengar kecewa.
Sejak saat dirinya gagal dievakuasi oleh pemerintah dirinya kembali ke asrama begitu juga dengan dua teman lainnya.
Namun asramanya dengan dua kawannya berjara 1 jam perjalanan dari Wuhan.
Sedang temannya yang bernama Kris masih tertahan di Jingzhou lantaran tak ada transportasi ke Wuhan sebab seluruh akses kota sedang dimatikan sementara.
"Jadi ya sebenarnya percuma juga (saat ini) dapat bantuan dana, tidak bisa beli keperluan karena tidak bisa keluar asrama," ujar Humaidi yang saat ini hanya menerima bantuan makanan dan masker dari kampusnya.
Dirinya pun merasa percuma mendapat bantuan uang lantaran tak bisa keluar asrama untuk beli bahan makanan sebab semua akses dan pertokoan tutup untuk sementara waktu.
Hanya ada beberapa relawan dari universitas yang datang ke asrama Humaida untuk membawakan daftar produk yang dapat dibeli di beberapa supermarket.
Namun barang yang dapat dibeli juga hanya seputar peralatan pribadi seperti sikat gigi, sabun, sampo.
Sedang bahan makanan yang dapat diperolehnya hanay makanan instan seperti mie, biskuit dan susu.
"Telur dan daging tidak dijual. Saya tidak tahu kenapa tapi yang jelas barang-barang itu tidak ada di daftar. Tidak semua supermarket juga buka," paparnya.
Kini, mahasiswa pascasarjana itu kerap memberikan kabar di akun instagram terkait kegiatannya selama terisolasi di asrama.
Otoritas China juga melakukan pemeriksaan terhadap warga asrama dengan mengecek suhu tubuh mereka secara berkala.
Walau begitu, Humaida hanya memikirkan nasib kawannya Kris yang berada jauh dari pusat kota, dirinya merasa kasihan lantaran Kris adalah seorang wanita.
"saya pikir dia (karena perempuan) mungkin bakal stres di sana. Tapi alhamdulillah sekarang setelah saya bicara dengannya melalui video call, dia tampak tegar dan tersenyum. Dia yang perempuan ternyata lebih kuat dari pada saya."
"Jika memang (pemerintah RI) mau evakuasi lagi, tolong dipikir baik-baik, bagaimana caranya bisa jemput teman saya Kris di Jingzhou itu. Kalau tidak bisa jemput dia, lebih baik tidak usah jemput kami semua. Saya ingin jika satu bisa dievakuasi, yang lain juga bisa," tegas Humaidi.
Ia pun ingat perkataan sang ibu saat gagal dievakuasi oleh pemerintah untuk kembali ke Indonesia.
"Mamak saya menegur saya ketika gagal dievakuasi. Mamak saya bilang, Kamu itu jangan berharap kepada manusia. Lihat hasilnya, sebesar apapun pesawat yang jemput kamu, setinggi apapun jabatan yang mereka punya, kalau tidak ada izin dari Yang Maha Kuasa, lihat, bisa pulang ndak kamu?" tutur Humaidi menirukan ucapan sang ibu.
"Memang kesalahan saya saat itu juga yang terlalu percaya pada manusia. Lupa pada kuasa Tuhan."
"Saya hanya berdoa semoga pekan depan Wuhan bisa setidaknya jauh membaik, sehingga saya dan teman-teman bisa keluar dari asrama menghirup udara, jogging dan aktivitas lainnya. Saya juga minta doa untuk teman-teman semua yang ada di tanah air." Pungkas Humaidi. (*)