Sosok.ID - Kali ini mungkin tak ada yang bisa menyaingi pengorbanan yang dilakukan seorang guru di pedalaman terpencil Papua bernama Diana.
Pasalnya, di tengah berbagai keterbatasan yang menghalanginya sebagai guru di pedalaman Papua, Diana tetap memperjuangkan pendidikan yang terbaik bagi murid-muridnya.
Dan demi memberikan yang terbaik bagi anak muridnya, guru di pedalaman Papua, Diana tak segan-segan mengirimkan surat terbuka kepada Mendikbud, Nadiem Makarim.
Bahkan kini surat terbuka untuk Mendikbud tersebut jadi viral dan ramai dibicarakan publik Tanah Air.
Seperti yang kita tahu, tidak semua pahlawan menggunakan topeng dan jubah di balik punggungnya.
Dan tidak semua pahlawan sosoknya diketahui dan dielu-elukan masyarakat .
Nyatanya, sosok pahlawan yang sesungguhanya di kehidupan nyata adalah orang-orang yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Namanya saja, mungkin tak ada yang mengenal, tapi begitulah kenyataan yang sebenarnya terjadi.
Sosok-sosok pahlawan seperti ini adalah sekelompok orang yang bekerja di balik bayang-bayang.
Tidak seorang pun tahu apa yang mereka lakukan dan korbankan demi kepentingan bersama.
Mereka bukanlah sekelompok orang-orang yang berbuat baik demi popularitas atau semata kewajiban sebagai publik figur.
Melainkan sosok orang-orang yang memang memiliki tingkat kepedulian yang tinggi terhadap sesama.
Martir-martir sosial seperti inilah yang seharusnya disebut sebagai pahlawan bangsa.
Salah satu sosok pahlawan sosial ini adalah seorang guru di pedalaman Papua, Diana Cristiana Da Costa Ati.
Melansir Kompas.com dan Tribunnews, sosok guru bernama Diana Cristiana Da Costa Ati ini tengah jadi perbincangan hangat publik di media sosial.
Dilansir Sosok.ID dari Kompas.com dan postingan akun Facebook pribadi milik sang guru pada 7 November 2019, Diana Cristiana Da Costa Ati adalah guru volunter yang tergabung dalam Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT).
Diana terpilih sebagai GPDT dalam program pemerintah yang bekerja sama dengan Gugus Tugas Papua UGM.
Terpilih menjadi salah satu GPDT, Diana dikirimkan langsung untuk menjadi guru di daerah terpencil pedalam Papua, Kampung Kaibusene.
Diana sendiri baru tiba di Tanah Cendrawasih sekitar satu tahun yang lalu, yakni pada 3 Oktober 2018.
Bersama dengan dua rekannya dalam GPDT, Antonius Tampani dan Inda Rovitha Meyok, Diana ditugaskan ke Kampung Kaibusene, Distrik Assue, Papua.
Untuk mencapai lokasi tempatnya mengajar sebagai guru pun tidak mudah.
Dalam postingannya di akun Facebook pribadi, Diana mengatakan bahwa perjalanan yang ia tempuh bersama rekannya menuju lokasi memakan waktu hampir 9 jam.
Medan yang ia tempuh pun tidak semudah yang dibayangkan.
Diana dan kedua rekannya harus melewati hutan rimba dan rawa penuh dengan rumpun tebu untuk mencapai Kampung Kaibusene.
Baca Juga: Tanpa Organ Jantung, Pria Ini Masih Bisa Bertahan Hidup, Ternyata Gunakan Alat Ini!
Berbekal golok dan perahu ketinting, Diana dan kedua rekannya pun akhirnya sampai di Kampung Kaibusene pada 16 November 2018.
Dalam surat terbukanya untuk Mendikbud, Diana bercerita bahwa sekolah tempatnya mengajar dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Bagaimana tidak, hanya memiliki 3 ruang kelas, Diana dan kedua rekannya harus putar otak bagaimana caranya mengajar 50 murid dalam waktu bersamaan.
Jam sekolah tidak mungkin bisa di shift lantaran pemukiman tempat tinggal anak muridnya memiliki jarak yang cukup jauh dari sekolah.
Kurangnya tenaga pengajar juga menjadi masalah yang cukup pelik.
Pasalnya, bila kepala sekolah atau guru ada dinas ke luar daerah, murid-murid terpaksa harus diliburkan selama berminggu-minggu bahkan pernah sampai setahun.
Belum lagi menyinggung soal penggelapan dana BOS yang tidak digunakan sebagaimana mestinya hingga murid-muridnya harus menderita seperti ini.
"Hal paling aneh di republik ini adalah ketika seorang PNS tidak menjalankan tugasnya bertahun tahun pun tidak dipecat. Penggelapan Dana Bos besar-besaran dianggap Kita doyan memelihara generasi perusak masa depan bangsa.
Beratus-ratus miliyar uang negara untuk pendidikan dihabiskan hingga yang tersisa adalah ruang kelas layaknya gudang harus ditempati untuk menuntut ilmu. Tidak ada seragam, buku, pensil, meja dan bangku layak pakai. Beginilah Indonesia. Beginilah Papua," tulis Diana seperti yang dikutip Sosok.ID dari postingannya untuk Mendikbud.
Bukan hanya kurangnya tenaga pengajar, sekolah tempat Diana mengajar rupanya juga memiliki fasilitas yang memprihatinkan.
Bayangkan saja, untuk menulis dan memperhatikan pelajaran, murid-muridnya harus lesehan dan membungkuk di lantai tanah karena meja dan bangku kelas yang sudah reyot.
Melansir Kompas.com dan Tribunnews, kondisi inilah yang membuat Diana akhirnya menuliskan surat terbuka untuk Mendikbud, Nadiem Makarim.
Diana tidak tahan bila setiap hari muridnya harus mengalami kondisi seperti ini hanya untuk menempuh pendidikan yang bahkan mungkin tak seberapa di kota-kota besar.
Dalam suratnya, Diana berharap bila Nadiem Makarim akan membuat program skala nasional dalam rangka mencerdaskan anak-anak di pedalaman.
"Indonesia bukan hanya Jawa, kami pun Indonesia. Indonesia bukan hanya kota-kota besar yang sudah canggih dengan aplikasi-aplikasi pendidikan yang mudah didapat lewat Android.
Kami di pedalaman yang masih belajar mengenal abjad juga Indonesia," kata Diana.
"Pak Surya Paloh pernah berkata dalam sebuah acara bertemakan 'Pertaruhan Sang Ideologi'. Saya mau lihat Indonesia yang seutuhnya.
Saya mau lihat seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, suatu ketika dalam waktu yang tidak lama ada anak-anak Indonesia yang rambutnya keriting, kulitnya hitam, jadi presiden di republik ini," tulis Diana seperti yang dikutip Sosok.ID dari Kompas.com, Selasa (18/11/2019).
Diana setuju dengan pernyataan Surya Paloh, tetapi untuk saat ini Diana hanya ingin melihat anak-anak didik di pedalaman mendapatkan pendidikan yang layak.
"Seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, saya ingin melihat anak-anak sekolah di pedalaman Mappi bisa menulis cerita mereka dari pena dan kertasnya tanpa merasa sulit menyusun kata pada kumpulan aksara yang terbentang dari A-Z," tutup Diana, dalam surat terbukanya.
(*)