Sosok.ID - Genderang perang antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin memanas di awal kepemimpinan Joe Biden.
Bahkan AS kini berupaya memperluas perjanjian dengan banyak negara di Asia tenggara.
Tanpa terkecuali adalah Indonesia dengan tujuan yang cukup mengerikan bagi keberlangsungan dari negara-negara yang ada di sekitar Laut China Selatan.
Hal itu tak lain adalah untuk mendapatkan persetujuan dari negara-negara tersebut dalam upaya pengiriman kapal perang.
Selain itu, AS juga berupaya mendapatkan akses yang sah dari negara-negara tersebut menuju perairan Laut China Selatan.
Upaya yang dilakukan AS tak lain adalah untuk membalas perlakuan militer China yang disebut mereka keterlaluan.
Termasuk dengan apa yang dilakukan oleh China terhadap Taiwan dan Hong Kong yang dianggap AS sebagai sebuah pelanggaran.
Strategi baru maritim AS ini pun telah diumumkan beberapa waktu lalu.
Untuk mengintegrasikan pasukan maritim mereka termasuk penjaga pantainya (US Coastguard) melawan kehadiran Tiongkok di Laut China Selatan.
Strategi erang ini juga bakal diterapkan oleh AS dalam beberapa dekade mendatang.
Korps Marinir dan penjaga pantai sesuai dengan strategi militer AS tersebut bakal mendominasi di berbagai wilayah laut yang bersengketa.
Taktik perang laut itu diberi judul Advantage at Sea dan diterbitkan bulan lalu tersebut, mendefinisikan tujuan angkatan laut AS sebagai "menjaga kebebasan laut, mencegah agresi, dan memenangkan perang".
"Perilaku China dan percepatan pertumbuhan militer menempatkannya pada lintasan yang akan menantang kemampuan kami untuk terus melakukannya."
"Kami berada pada titik perubahan," demikian strategi perang maritim AS terbaru yang dikutip South Morning China Post.
Sejak tahun 2015, AS meningkatkan aktivitasnya di zona abu-abu untuk memproyeksikan kekuatan di bawah ambang batas yang dapat mendorong respon militer konvesional.
Salah satunya yang dilakukan oleh AS di Laut China Selatan yang membuat Tiongkok bertindak tegas.
Pemerintah China mengklaim hampir 90% Laut China Selatan yang kaya sumber daya, berdasarkan apa yang mereka sebut sembilan garis putus-putus yang telah mendapat tantangan keras dari tetangganya termasuk Vietnam, Filipina, Brunei dan Malaysia.
Klaim itupun diputuskan pada tahun 2016 oleh pengadilan PBB lantaran tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Jalur laut ini memang diketahui sangat sibuk lantaran memiliki lokasi geostrategisnya yang cukup berpengaruh.
Seorang peneliti di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam di Singapura mengatakan apa yang dilakukan AS ini menang sudah bukan hal baru.
“Strategi maritim tiga layanan baru ini pada dasarnya mengabadikan kebiasaan yang sudah ada sebelumnya yakni kerja sama dan koordinasi, dan berfungsi sebagai kerangka kerja panduan tentang bagaimana pasukan maritim AS ini bekerja sama dan mengumpulkan kekuatan mereka untuk melawan aktivitas maritim China," katanya.
Berdasarkan perjanjian tersebut, petugas patroli suatu negara diizinkan untuk menaiki kapal atau pesawat penegak hukum milik Penjaga Pantai AS saat mereka berpatroli, di mana petugas patroli dapat mengizinkan yang terakhir untuk mengambil tindakan atas nama mereka.
Sejak 2010, AS telah menandatangani perjanjian bilateral dengan 11 negara kepulauan Pasifik untuk operasi penegakan hukum bersama untuk melawan penangkapan ikan ilegal.
“Pendekatan baru Penjaga Pantai AS untuk campur tangan dalam urusan Laut China Selatan di bawah nama kerjasama penegakan hukum perikanan, untuk melindungi dari aktivitas China di Laut China Selatan… mungkin masih menjadi pilihan penting dari kebijakan Laut China Selatan untuk masa depan,” ujar Yan Yan, direktur Pusat Penelitian Hukum dan Kebijakan Lautan di Institut Nasional Kajian Laut China Selatan.
(*)