Insiden-insiden ini telah ditahan oleh para politisi Malaysia yang menolak secara demokratis sebagai contoh mengapa kebebasan yang tidak terkekang.
Seperti yang dilakukan oleh demokrasi "gaya Barat" merusak perkembangan ekonomi dan kerukunan etnis negara (Reformasi bantutkan ekonomi, Utusan Malaysia, 29 Februari, 2012).
Demokrasi yang dipromosikan oleh Barat berfungsi untuk menyebarkan hedonisme dan anarkisme karena supremasi hak dan kebebasan individu mengurai tatanan sosial yang mengikat dari nilai dan norma budaya dan agama tradisional (Kebebasan, hak asasi manusia agama baru dunia), Utusan Malaysia, 31 Juli 2011).
Ancaman lain yang ditimbulkan oleh Indonesia, sebagaimana ditafsirkan oleh kekuatan konservatif di Malaysia, adalah budaya pluralisme agama dan wacana ideologi Islam yang beragam.
Indonesia selalu dilihat oleh para pelopor Islam di Malaysia sebagai benteng Islam liberal dan sekularisme, sebuah praktik yang tidak pantas bagi negara berpenduduk Muslim di dunia (Bahaya pluralisme agama, Utusan Malaysia, 14 Desember 2010).
Bagi Malaysia, Cendekiawan Muslim Indonesia seperti Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan lainnya dianggap berbahaya.
Mereka dianggap cenderung menyesatkan Muslim Melayu yang tidak curiga dan naif untuk percaya bahwa Islam cocok dengan sekularisme, yang berdiri sejajar dengan agama lain dan bukan kepemilikan tunggal satu kelompok etnis.
Oleh karena itu, tujuan kaum konservatif religius di Malaysia bukanlah untuk membiarkan keyakinan Islam, sebagaimana ditafsirkan dan dipraktikkan secara monopolistik di negara itu, untuk berpindah dan bermutasi ke dalam bentuk Indonesia yang beraneka ragam.
Dengan kata lain, serangan politik oleh Malaysia sebenarnya hanya ketakutan yang ditimbulkan oleh berbagai isu yang berkembang di Indonesia, membuat negeri Jiran ketakutan sendiri.