Namun, Hsiao, yang merupakan kepala pengadaan di Biro Persenjataan Kementerian pertahanan, mengatakan itu akan menjadi tugas yang "sangat sulit".
Dalam wawancara yang diterbitkan hariJumat (30/10)oleh situs multinasional berbahasa Mandarin China Review News Agency, mantan prajurit itu mengatakan bahwa pengalaman masa lalu hanya menunjukkan sekitar 70 persen pasukan cadangan muncul ketika dipanggil untuk pendidikan dan pelatihan.
"Meskipun perintah mobilisasi perang akan diberlakukan, militer tidak memiliki langkah-langkah komprehensif untuk memobilisasi dalam keadaan darurat," kata Hsiao, menurut Newsweek terjemahan dari laporan China.
"Berhasil mengumpulkan 450.000 tentara akan sangat sulit," katanya.
Hambatan lain adalah sejarah kurangnya perhatian militer terhadap konsolidasi senjata dan peralatan di gudang, katanya.
Ini bisa menyebabkan ketidakmampuan untuk menyediakan senjata yang cukup untuk tentara, bahkan jika angkatan bersenjata dapat mengumpulkan pasukan yang dibutuhkannya.
"Bagaimana tentara berperang tanpa peralatan yang memadai? Apakah mereka harus berperang dengan sapu?" kata Hsiao yang dilaporkan CRNA.
Pensiunan mayor jenderal itu kemudian mendesak militer Taiwan untuk "lebih waspada terhadap krisis" dan melakukan "persiapan dasar" yang diperlukan untuk menanggapi situasi darurat di masa depan.
Perlombaan senjata yang 'tidak berguna'
Dalam wawancara lain yang diterbitkan oleh CRNA hari Jumat, Hsiao menyebut pembelian senjata baru-baru ini dari Amerika sebagai "lubang uang tak berujung."