Sosok.ID - Sebanyak 109 tenaga medis di RSUD Ogan Ilir, Sumatera Selatan, telah dipecat dengan alasan enggan menangani pasien virus corona.
Pernyataan itu disampaikan oleh Bupati Ogan Ilir, Ilyas Panji Alam, dan Jubir Covid-19 Sumatera Selatan, Yusri.
Melansir Kompas.com, Ilyas menuturkan bahwa segala tuntutan petugas medis terkait insentif, rumah singgah, hingga ribuan APD sudah tersedia.
Namun para tenaga medis justru mogok kerja saat datang pasien corona.
"Insentif sudah ada. Minta sediakan rumah singgah, sudah ada 34 kamar, ada kasur, dan pakai AC semua. (Mereka) bilang APD (alat pelindung diri) minim, tapi ribuan APD ada di RSUD Ogan Ilir, silakan cek," ujar Ilyas.
"Apa yang mereka tuntut, semua sudah ada. Makser, sarung tangan, kaca mata, boot, semua ada. Apalagi?" katanya.
"Insentif juga sudah ada (padahal) mereka kerja saja belum kok. Baru datang pasien korona, (mereka) sudah bubar enggak masuk, gimana itu?" tambahnya.
Sementara Yusri menganggap pemecatan itu sebagai hal yang wajar, jika melihat sikap para petugas medis.
Baca Juga: Kepergok Mabuk-mabukan Saat PSBB, Wali Kota Ini Pura-pura Mati Karena Takut Kena Sanksi
"Jelas (pemecatan tenaga medis) berdampak pada penanganan (pasien), tapi kalau mereka juga tidak mau menangani juga tidak ada maknanya," kata Yusri saat konferensi pers, Kamis (21/5/2020).
"Kalau ada yang demo dengan alasan tidak ada APD, kami tak yakin. Kami yakin mental mereka yang tidak mau melakukan pelayanan saja," tambahnya.
Petugas medis RSUD Ogan Ilir kaget dipecat
Dikutip dari Tribun Sumsel, Jumat (22/5), salah seorang petugas medis yang turut diberhentikan oleh Bupati Ogan Ilir angkat bicara.
Tenaga medis yang enggan disebutkan namanya itu menyebutkan, ia tengah berdiam diri kala mendapatkan kabar pemecatan dari manajemen RSUD Ogan Ilir.
"Hancur hati kami kak. Kami hanya menanyakan kejelasan, mengapa dijawab seperti ini (dipecat)," ujarnya.
Menurutnya, aksi mogok kerja yang dilakukan oleh 109 petugas medis di RSUD Ogan Ilir sudah 'direstui' oleh pihak manajemen.
Bantah disebut takut pasien Covid-19
Ia mengatakan, kejadian bermula pada Jumat (165/5) lalu, dimana saat itu terdapat pasien virus corona yang cukup banyak di salah satu kecamatan di Ogan Ilir.
Petugas itu juga membantah kala bupati menyebut mereka takut dengan pasien Covid-19.
"Kami klarifikasi, tidak ada kami takut dengan pasien Covid-19. Dengan catatan, keamanan kami juga terjamin," tegasnya.
Mereka menjadi takut lantaran tidak ada kejelasan terkait APD yang aman.
"Karena tidak ada penjelasan detail langkahnya gimana, semacam instruksi lah ambil APD atau gimana, ya jadinya takut," katanya.
"Kawan-kawan medis ini kemudian mengamankan diri, karena mendadak dan masif kan. Tapi terdengar kabur," lanjutnya.
Kegiatan 'mengamankan diri' ini lah yang disebut sebagai mogok kerja oleh pemkab Ogan Ilir.
Baca Juga: Jokowi Ajak Rakyat Berdamai dengan Virus Corona, Jusuf Kalla: Risikonya Mati
Satgas RSUD Ogan Ilir dibentuk manajemen
Ia melanjutkan, di RSUD ogan Ilir, sudah ada tim Gugus Tugas yang ditugaskan menangani pasien Covid-19.
Oleh karenanya mereka merasa lebih tenang.
"Rumah sakit sebenarnya sudah membentuk satgas, orangnya pilihan manajemen. Ya sudah kalau bahasa Palembang, kami aso (santai)."
"Ternyata dibalik ini semua kami dianggap terlibat. Mulai dari supir Ambulans sampai ke radiologi. Soal status sampai RSUD kita jadi rujukan covid pun, kami ga tau," tegasnya.
Polemik APD
Ia menyebut tidak mendapatkan pembekalan tentang cara penggunaan APD yang benar.
Petugas medis itu juga menyayangkan adanya pembatasan APD dalam sekali piket.
Kendati ia tidak membantah terkait APD yang disebut oleh Ilyas dan Yusri lebih dari cukup.
"Manajemen bilang kalau APD kita ada dan cukup, memang benar. Namun terjadi pembatasan saat kami hendak memakainya. Contoh kecil masker, kami diberi 1 setiap piket.
"Padahal untuk standarnya 5-6 jam harus diganti, tapi ketika hendak meminta lagi ada prosedur panjang," ucapnya.
Kendati demikian ia memaklumi, hal itu dilakukan demi menjaga distribusi APD tetap stabil.
Tuntutan rumah singah dan mogok kerja
Terkait rumah singgah, ia menyebut memang ada Rumah Singgah di Gedung DPRD Ogan Ilir, namun mereka sampai terakhir tak diberi tahu bagaimana cara memakainya, bagaimana jaminannya dan siapa pemegang kunci.
"Otomatis kami juga ada kontak dengan Covid. Ga mau kami pulang, takut bawa virus. Tapi kami jangan dilepas, diarahkan. Selama kami dikarantina, jamuan makan minum kami bagaimana," jelasnya.
Terkait isu mogok kerja 5 hari, ia juga membantah hal tersebut. Menurutnya, mereka hanya beristirahat di rumah dengan persetujuan dari perwakilan manajemen.
Baca Juga: Jokowi Dinilai Lelet Tangani Corona, Penanganan Covid-19 Indonesia Terburuk Se-Asia Tenggara
"Setelah bertemu dengan Komisi IV DPRD Ogan Ilir, kami semua dipanggil ke Rumah Sakit oleh perwakilan manajemen. Walaupun ada Dirut di sana, tapi tidak ketemu sama kita," terangnya.
"Yasudah kami sampaikan ke perwakilan manajemen itu sesuai dengan keluhan kami ini. Dan katanya silahkan, ga masalah. Jadi kami diam di rumah," ungkapnya.
Setelah memberi tahu perwakilan manajemen, para petugas medis menunggu kesepakatan yang pasti.
Namun sampai 4 hari tidak ada kepastian.
Pemecatan terjadi
"Rupanya Rabu kemarin kami dipanggil dengan surat panggilan kerja, direvisi sampai jam 14.00 WIB," katanya.
Karena banyak yang tinggal jauh dari rumah sakit, mereka pun mengirim 7 perwakilan.
Namun ternyata, 7 orang yang datang inilah yang dianggap masih niat mengabdikan diri di rumah sakit. Tanpa melalui diskusi.
"Mereka juga hendak diajak ke Bupati Ogan Ilir menghadap, diajari oleh Direktur untuk mengakui mereka salah di depan bapak Bupati. Ya teman kami itu tidak mau, jadi ga menghadap," ucapnya.
Baca Juga: BNPB Nyatakan Belum Tahu Kapan Wabah Corona Berakhir, Selamanya Bakal Hidup Bersama Covid-19
Akhirnya SK Bupati turun pada Rabu (21/5) malam.
Ratusan tenaga medis itu ketar-ketir, sebab mendapati SK pemberhentian melalui dunia maya.
"Mereka juga hendak diajak ke Bupati Ogan Ilir menghadap, diajari oleh Direktur untuk mengakui mereka salah di depan bapak Bupati. Ya teman kami itu tidak mau, jadi ga menghadap," ucapnya.
Ia pun merasa sedih, sebab pengabdiannya selama 7 tahun berakhir dengan pemecatan.
"Kami tak pernah mempertanyakan gaji dan lain-lain. Pasien Covid kami siap hadapi, dari ruang manapun. Asalkan kami punya hak melindungi diri kami juga. Kami berupaya membuka komunikasi, sayangnya beliau memiliki pemikiran lain," jelasnya. (*)