Demikianlah gambaran Evita yang terus terpateri dalam ingatan seluruh bangsa Argentina, yang sejak kematiannya jatuh dalam kemurungan sampai ke pelosok-pelosok kota. Di salah satu kantor kecil kelompok Peron tergantung foto Evita sebagai ikon dan di pasar-pasar loak, senyum Evita ada dalam tumpukan majalah-majalah tua.
Siapakah sebenarnya gadis lima belas tahun asal Junin yang pada 3 Januari 1935 turun di Stasiun Retiro dengan memakai sepatu butut, stocking berlubang, dan menenteng koper kardus ini?
"la adalah anak jalanan," tulis Eloy Martinez. "Gula-gula yang muncul di arena teater untuk peran-peran kecil yang hanya cukup untuk membayar secangkir kopi."
Rambut dan kuku jemarinya kotor. Kakinya penuh bekas luka dan garukan. Dengan wajah pucat dan gigi kelincinya, ia datang ke Buenos Aires, mimpi menjadi bintang film.
"Begitu malam tiba, ia terbang dari satu kafe ke kafe lain, seperti seekor kupu-kupu. Tetapi, ia ternyata kupu-kupu baja," kata penulis biografi Evita, Abel Posse. Maria Eva Duarte berdiri di depan restoran, menanti penonton teater bubar.
Ia berharap bisa bertemu seorang pria berpengaruh yang mengajaknya berbincang, mengundangnya makan, mengajaknya tidur, dan membawanya meniti karier.
Berhati serigala
Perlahan tapi pasti, ia bergulat meniti tangga nasib. Dari wanita yang menanti kesempatan di depan restoran, jadi aktris yang tidak kondang-kondang amat, sampai menjadi bintangnya siaran radio.
Segalanya bisa saja terjadi di Buenos Aires pada tahun tiga puluhan. Saat itu, di jalan-jalan kota metropolitan yang dijuluki Parisnya Amerika, lalu lalang pakkard dan studebaker. Pesta pora terjadi di setiap sudut jalan.
Di bordil-bordil segalanya bisa diperoleh, dari wanita berparfum menyengat, obat bius, sampai sifilis. Di tempat-tempat dansa tango, wanita-wanita "nakal" bergelayut di leher para pria.