Guterres mengatakan, meskipun mereka diberikan kewarganegaraan Indonesia setelah perang, mereka tidak dapat meninggalkan Indonesia, termasuk bepergian ke Timor-Leste untuk menemui anggota keluarga karena nama mereka masih ada di daftar PBB.
Dia juga mencatat bahwa Jokowi tidak pernah menyebut mantan pejuang Timor-Leste dalam pernyataan resmi.
"Presiden tidak pernah membicarakan mantan gerilyawan yang hidup di bawah garis kemiskinan," katanya.
"Bangsa yang hebat adalah bangsa yang menghormati pejuangnya," katanya.
Para pengunjuk rasa meminta pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada 13.000 milisi serta piagam penghargaan untuk mereka.
"Kami juga berharap pemerintah bisa memberikan kesempatan kepada putra putri milisi untuk menjadi anggota TNI, Polri, dan PNS," kata mereka dalam sebuah pernyataan.
Istri mantan pejuang Timor Leste pro Indonesia Margarida Perera, 45 tahun, menjelaskan bahwa anak-anaknya tidak bisa bekerja di instansi pemerintah, alasannya, mereka "eks-Timor," ujarnya kepada ucanews.com.
Suami Perera meninggal selama perang dan dia tidak menerima bantuan dari pemerintah Indonesia selama 18 tahun.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya, yang berbicara dengan para pengunjuk rasa mengatakan dia "sangat memahami keluhan mantan warga Timor Timur" dan berjanji untuk segera mengangkat masalah tersebut dengan Widodo.
Sementara itu, Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM, mengatakan untuk memenuhi tuntutan para pengunjuk rasa, pemerintah Indonesia harus bekerja sama dengan pemerintah Timor-Leste.