Sosok.ID - Indonesia telah menolak proposal AS untuk mengizinkan pesawat pengintai maritim P-8 Poseidon mendarat dan mengisi bahan bakar di negara itu, menurut laporan Reuters.
Laporan eksklusif ini didasarkan pada informasi dari empat pejabat senior Indonesia yang mengetahui masalah tersebut.
"Kami tidak ingin tertipu untuk melakukan kampanye anti-China," kata mantan duta besar Indonesia untuk AS Dino Patti Djalal kepada Reuters, dikutip via Global Times.
Pesawat pengintai maritim P-8 Poseidon AS telah memainkan peran penting dalam operasi pengawasan terhadap China, terutama pengawasannya terhadap aktivitas China di Laut China Selatan.
Pesawat pengintai P-8 telah mendarat di Singapura, Malaysia dan Filipina. Namun, Indonesia tidak menyetujui permintaan AS untuk mendarat di tempatnya.
Global Times menganggap sikap Indonesia yang jelas dan tegas tentang masalah Laut China Selatan karena: Mereka tidak ingin kawasan itu menjadi tempat permainan militer negara-negara besar.
Indonesia juga dinilai tidak ingin AS mengganggu situasi regional, sebuah sikap yang benar dari kekuatan regional yang sebenarnya.
Diketahui persaingan antara China dan AS semakin ketat. Washington telah berusaha mengikat negara-negara kawasan untuk bersekongkol melawan Beijing, memaksa mereka untuk berpihak.
Baca Juga: Battlecruiser Kirov Class Rusia Bakal Dilengkapi dengan Rudal Pemantik Kiamat
Tetapi sebagian besar negara yang bersangkutan, terutama anggota ASEAN, termasuk Indonesia, sangat mementingkan keseimbangan hubungan nasional dengan negara-negara besar. Keberpihakan tidak sejalan dengan kepentingan mereka.
Dengan menolak pendaratan dan pengisian bahan bakar pesawat pengintai AS di Tanah Air, Indonesia menegaskan tidak akan berpihak pada urusan Laut China Selatan.
Greg Poling, seorang analis Asia Tenggara dari Center for Strategic and International Studies yang berbasis di Washington DC, mengatakan bahwa upaya untuk mendapatkan hak pendaratan pesawat mata-mata menunjukkan betapa pemerintah AS tidak memahami Indonesia.
Sampai batas tertentu, AS telah menunjukkan bahwa mereka terlalu percaya diri, lapor Global Times. Washington merasa bahwa negara-negara ini akan mematuhi instruksi AS dengan paksaan atau godaan.
Namun negara-negara kawasan ini memiliki kepentingan nasionalnya masing-masing.
AS jelas salah menilai situasi, kata Global Times. Ia salah percaya bahwa negara-negara kewasan dapat dimanipulasi oleh panggilan dan seruan AS.
Selain itu, AS tidak sepenuhnya memahami situasi domestik sebenarnya dari negara-negara tersebut.
Negara-negara seperti Indonesia telah tumbuh menjadi negara berkembang dalam beberapa tahun terakhir.
Jelas, negara-negara ini mengikuti jalur perkembangan mereka sendiri, alih-alih menari mengikuti irama AS.
Sikap Indonesia, sekali lagi dinilai merepresentasikan posisi sebagian besar anggota ASEAN untuk tidak berpihak kepada siapapun.
Meski China dan Indonesia berselisih di Laut China Selatan, kedua negara meningkatkan hubungan timbal baliknya dibidang ekonomi, perdagangan, dan investasi.
Dino mengatakan kepada Reuters bahwa China sekarang adalah "negara paling berpengaruh di dunia bagi Indonesia."
Baca Juga: Perlihatkan Kemampuan Tempur kepada China, India Gelar Latihan Militer Skala Besar
Padahal, kerja sama China dengan Indonesia dan anggota ASEAN lainnya dilandasi oleh kepentingan bersama.
Itu tidak menargetkan pihak ketiga. Pertumbuhan investasi dan perdagangan yang berkelanjutan antara China dan ASEAN bukan karena tekanan pihak ketiga.
Ini adalah hasil alami dari kerja sama bilateral - dengan banyak peluang. Ini juga menjelaskan mengapa kerja sama China-ASEAN bisa bertahan lama.
Dino menerbitkan sebuah artikel di The Diplomat pada 15 Oktober, di mana dia berkata, "Mengharapkan pemerintah Asia Tenggara untuk berkomitmen terhadap oposisi menyeluruh terhadap China dalam keadaan ini sama sekali tidak realistis."
Indonesia telah memperjelas sikapnya. Jika Washington terus berusaha membentuk sekelompok kecil negara yang menargetkan Beijing di Laut Cina Selatan, itu mungkin menjadi semakin terisolasi.
Trik semacam itu mungkin berhasil selama era Perang Dingin. Tapi sekarang abad ke-21. Mindset usang ini tidak lagi sesuai untuk perkembangan dunia saat ini.
Dalam konteks pandemi COVID-19, dunia membutuhkan lebih banyak kerja sama, bukan isolasionisme dan unilateralisme. (*)