Sosok.ID - Perseteruan yang terjadi di antara negara Armenia dengan Azerbaijan hingga kini masih belum mereda.
Bahkan perseteruan yang pecah di Nagorno-Karabakh sejak 27 September 2020 lalu itu semakin memanas.
Korban yang berjatuhan pun bukan lagi berasal dari kalangan militer kedua belah pihak.
Melainkan banyak juga korban berjatuhan dari warga sipil.
Salah satu warga yang paling parah terkena dampak perang adalah Kota Terter, bagian utara zona konflik, yang termasuk ke dalam wilayah Azerbaijan.
Banyak di antara warga kota tersebut mengungsi, namun banyak juga yang memilih tetap tinggal dan bersembunyi di dalam bungker bawah tanah.
Salah satu warga yang memilih untuk bersembunyi di bawah tanah adalah Tatyana Pashayeva (56) sebagaimana dilansir dari AFP, Selasa (13/10/2020).
Bersama dengan lebih dari 20 pria dan wanita, yang kebanyakan lanjut usia (lansia), Pashayeva tinggal di dalam bungker tersebut sejak konflik meletus.
"Saya sangat, sangat ketakutan. Tidak ada yang memperingatkan kami bahwa perang akan segera dimulai," bisik pria tersebut.
Di wilayah tersebut, tim AFP melihat beberapa peluncur roket Azerbaijan melesat dan kemudian menembakkan salvo cepat ke pegunungan Nagorno-Karabakh.
Berulang kali rentetan peluru dan amunisi lainnya menghujani kota yang sepi dan rusak parah beberapa saat kemudian.
"Orang-orang Armenia terus-menerus menembaki kami. Mereka sekarang menembaki kita dengan senjata yang berbeda: dengan rudal, bom, tank, peluncur roket.
"Mereka menggunakan semuanya," kata seorang pensiunan bernama Akif Aslanov.
Serangan terhadap Kota Terter mirip dengan yang dilakukan pasukan Azerbaijan di ibu kota Nagorno-Karabakh, Stepanakert, dan kota-kota tempat tinggal etnis Armenia lainnya di kawasan itu.
Ada banyak orang di kota tersebut yang memilih untuk tidak melarikan diri. Padahal duel artileri dari kedua belah pihak terus berdentuman.
Mau tidak mau, mereka harus bersembunyi di bungker bawah tanah untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Ruang bawah tanah di Terter sederhana: lantai kerikil dan dinding yang mengelupas diterangi dengan remang-remang cahaya lampu.
Beberapa keluarga memiliki radio bertenaga baterai yang mereka gunakan untuk mencari tahu perkembangan terkini ihwal pertempuran yang berkecamuk di atas kepala mereka.
Mereka juga mendaftar untuk mendapatkan jatah makanan pokok yang didistribusikan oleh layanan darurat Azerbaijan selama jeda penembakan berkala.
"Apa lagi yang bisa Anda lakukan? Kami tidak punya pilihan," kata pensiunan lain bernama Roza Aliyeva dari ranjang sudutnya.
Pria lansia berusa 85 tahun itu menderita banyak luka ketika dia jatuh saat berjuang untuk sampai ke ruang bawah tanah selama serangan pertama.
"Kami lari, kami jatuh, kami berdiri lagi, kami terluka, dan sekarang kami di sini, bersembunyi," katanya.
"Aku Tidak Akan Pergi"
Kedua belah pihak secara teknis telah menandatangani gencatan senjata kemanusiaan di Moskwa, Rusia, pada Sabtu (10/10/2020) yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan kedua belah pihak membuka pembicaraan lagi.
Tetapi orang-orang Azerbaijan yang berlindung di ruang bawah tanah di Koya Terter mengatakan mereka tidak dapat tidur selama lebih dari dua pekan karena pertempuran tidak pernah berhenti.
"Secara umum, kami tidak bisa tidur," kata Azer Mammadov, seorang veteran pertempuran masa lalu di Karabakh.
"Saat mereka berhenti menembaki selama satu jam setengah jam, kami bisa memejamkan mata dan tidur siang," sambung dia.
Mammadov adalah salah satu dari beberapa pria yang tinggal di ruang bawah tanah yang ikut bertempur dalam konflik Nagorno-Karabakh pada 1990-an.
Pertempuran tersebut yang menewaskan 30.000 orang.
Di sisi lain, para wanita lansia di kota tersebut juga menyatakan siap menderita demi mengambil kembali tanah yang mereka anggap sebagai rumah leluhur mereka.
Sariya Makharramova mengatakan dia juga tetap tinggal di Kota Terter ketika konflik berkobar pada 2016.
Pensiunan tua itu mengatakan putra dan cucunya ikut berjuang di garis depan dalam konflik ini.
Dia menambahkan tidak bisa meninggalkan kota tersebut.
"Saya tidak pergi pada 1992, saya tidak pergi pada April 2016, tidak pergi juga sekarang - saya tidak akan pernah pergi," tegas Makharramova.
(Danur Lambang Pristiandaru)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Lansia Korban Perang Azerbaijan-Armenia: Saya Tidak Akan Pergi"