Ada pula napi dan anak yang tidak terkait dengan PP Nomor 99 Tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsidair dan bukan warga negara asing, tulis Kompas.com.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menganggap, terdapat tumpang tindih kebijakan tersebut dengan kebijakan lain.
Pasalnya, pada saat yang sama muncul kebijakan dalam Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang ditandatangani Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo tertanggal 4 April 2020.
Dijelaskan dalam aturan tersebut, masyarakat yang menghina Presiden Joko Widodo maupun pejabat pemerintah lainnya dalam menangani Covid-19 di media sosial dapat terancam sanksi pidana.
Keabsahan surat telegram tersebut juga telah dikonfirmasi oleh Karo Penmas Polri Brigjen Pol Argo Yuwono.
"Bentuk pelanggaran atau kejahatan serta masalah yang mungkin terjadi dalam perkembangan situasi serta opini di ruang siber: penghinaan kepada penguasa/Presiden dan pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 207 KUHP," tulis surat telegram tersebut seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (7/4).
Sesuai Pasal 207 KUHP, maka pelaku penghinaan dapat terancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.
Erasmus menanggapi dua kebijakan tersebut sebagai hal yang kontradiktif.
Sebab memenjarakan penghina presiden justru bakal berpotensi membuat lapas makin sesak, alih-alih melonggarkan.
"Itulah kalau pemerintah enggak mempunyai konsep untuk menghadapi Covid-19. Kasihan pasukan di bawah. Orang (Ditjen) Pemasyarakatan pasti pusing betul," kata Erasmus, Senin (6/4).