Sosok.ID - Hari-hari menjelang meletusnya peristiwa berdarah, Soeharto terlihat risau dengan raut wajah yang datar.
Hatinya gundah gulana sebab sejumlah prajurit Kostrad tak henti-hentinya menyambangi kediaman Pangkostrad kala itu.
Suami dari Siti Hatinah (Ibu Tien) saat itu memangku jabatan sebagai Panglima Komando Satuan Angkatan Darat (Pangkostrad).
Dilansir dari buku yang berjudul "Siti Hartinah Soeharto Ibu Utama Indonesia", suasana politik nasional kala itu sangat serius.
Bahkan seringnya ia didesak dan didatangi anak buahnya untuk diminta segera bertindak oleh sebab keadaan saat itu.
Soeharto sempat marah hingga dengan nada tinggi berkata ia tak buta dengan situasi nasional kala itu.
Namun ia tak punya daya dan hanya bisa melaporkan setiap kejadian yang terjadi kepada atasan dan menunggu perintah.
Situasi saat itu memang serius namun Soeharto tak mendapatkan reaksi dari atasan hingga membuatnya lebih memilih diam untuk saat itu.
Sementara itu, Tien Soeharto pada waktu menjelang peristiwa mengerikan bagi bangsa Indonesia tersebut, ia sempat mengikuti sebuah acara yang diadakan di kantor Persit (Persatuan Istri Tentara).
Pertemuan persit kala itu didatangi oleh pemimpin dan pengurus tingkat pusat dan tingkat Jakarta Raya.
Ia sengaja berkumpul di markas Persit untuk mendengarkan penjelasan dari Menteri/Panglima AD Achmad Yani.
Pak Yani, sebutan Ahmad Yani dalam pertemuan tersebut menjelaskan situasi politik pada waktu itu yang makin gawat.
Baca Juga: Jarang Diekspos, Aksi Istri DN Aidit Kibuli Aparat Keamanan Indonesia Usai Meletusnya G30S/PKI
Selama menjadi istri prajurit, baru pertama kali itulah Tien Soeharto menerima uraian politik yang menyangkut nasib negara dan bangsa.
Biasanya seorang istri prajurit itu tidak diberitahu hal-hal yang bersifat rahasia.
Usai acara, Tien Soeharto kembali kerumah yang beralamat di Jalan H Agus Salim.
Melihat ibunya pulang, anak-anaknya meminta dibuatkan sup kaldu tulang sapi.
Tak lama berkutat di dapur, sup itupun sudah selesai dimasak dan menunggu dihidangkan di meja makan.
Masih panas dan beruap, panci berisi sup tersebut dibawanya menuju ruang makan.
Sebuah musibah tak diduga, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), yang masih berusia empat tahun.
Tak disangka Tommy menabrak tangan ibundanya hingga sup yang baru saja matang tersebut mengguyur tubuh kecilnya.
Kulitnya terbakar dan melepuh-lepuh, dengan sigap istri Soeharto mengambil obat "leverstraan salf".
Maka obat itulah yang dioleskan ke kulitnya anak laki-lakinya itu
Setelah itu, Tommy dibawa ke RS Gatot Subroto untuk dirawat lebih lanjut sebab luka bakarnya mulai lumayan parah.
Kejadian yang menimpa Tommy tersebut terjadi pada tanggal 30 September 1965.
Menjelang pukul 21.00 WIB, Soeharto dan istrinya menemani Tommy yang sedang dirawat di rumah sakit.
Hingga pada tengah malah, Ibu Tien meminta Soeharto agar segera pulang ke rumah karena pada waktu itu Mamiek.
Putri bungsu Soeharto saat itu sedang sendirian di rumah, apalagi ketika itu usia Mamiek baru satu tahun.
1 Oktober 1965, suasana di Jl H Agus Salim, kediaman Pangkostrad saat itu masih terlihat sepi.
Tiba-tiba seorang pria bernama Hamid mengetuk rumah Soeharto yang kebetulan menjadi Ketua RT.
Hamid adalah seorang juru kamera, ia mengaku baru saja mengambil potret tembak-menembak yang terjadi di sejumlah tempat malam sebelumnya.
Tak lama kemudian datang Mashuri SH, tetangga Soeharto mengaku mendengar suara tembakan.
Soeharto pun mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dan di tengah tanda tanya itu, muncul Broto Kusmardjo.
Ia membawa kabar mengenai penculikan terhadap sejumlah jenderal yang terjadi pada dini hari.
Sekitar pukul 06.00 pagi Letkol Soedjiman datang ke rumah Soeharto, menaku sebagai utusan Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima Kodam V Jaya.
Soedjiman memberitahukan bahwa ada konsentrasi pasukan di sekitar Monas.
Mendengar cerita itu, Soeharto bergegas mengenakan pakaian loreng lengkap, bersenjata pistol, pet dan sepatu.
Tanpa seorang pengawal, Soeharto tancap gas menuju markas Kostrad di Jl Merdeka Timur.
Ketika itu Soeharto melihat suasana di ibu kota berjalan seperti biasa, kegiatan masyarakat bahkan siaran radio RRI baru mengudara pukul 07.00 pagi.
Padahal biasanya RRI sudah mengudara tepat pukul 07.00 WIB setiap harinya.
Ternyata, Radio Republik Indonesia (RRI) terlambat menyiarkan tragedi pekat nan menyayat hati seluruh rakyat Indonesia. (*)