Sosok.ID - Dalam peristiwa berdarah yang merenggut putra-putra terbaik bangsa yang saat ini dikenal sebagai Pahlawan Revolusi terdapat delapan target senapan pasukan Cakrabirawa.
Selain AH Nasution, inilah sosok yang diincar oleh kelompok pembantai jenderal-jenderal TNI kala itu.
Namun ia lolos dari peristiwa mengerikan tersebut berkat perintah Sukarno yang harus ia jalankan.
Melansir dari artikel Intisari yang berjudul "Seharusnya Ada 8 Jenderal yang Akan Diculik G30S PKI, Kenapa Akhirnya Hanya 7?", sosok ini jarang dikenal orang.
Baca Juga: Fakta Mengerikan Perbudakan Berkedok Sekolah Agama, Siswanya Disiksa dan Diperlakukan Tak Manusiawi
Namun jasanya sangat besar bagi TNI kala itu, bahkan ia menjadi penjembatan antara atasannya AH Nasution dan Ahmad Yani dengan agen intelejen Amerika.
Dilansir dari Intisari, dalam pertemuan terakhir operasi penculikan Dewan Jenderal di rumah Sjam Kamaruzzaman, di Salemba Tengah, sesaat sebelum operasi berdarah tersebut.
30 September 1965, ternyata ditentukan nama delapan Jenderal TNI yang akan dijemput.
Mereka adalah AH Nasution, Ahmad Yani, Soewondo Parman, R. Suprapto, Mas Tirtodamo Harjono, Donald Izacus Pandjaitan, Soetojo Siswomihardjo, dan yang terakhir adalah sosok ini.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Sentil KPAI Masalah Demo Siswa STM: KPAI Turun Dong, Jangan Soal Bandminton Saja!
Bridjen Ahmad Sukendro, pria kelahiran Banyumas tahun 1923 tersebut menjadi salah satu target yang berhasil lolos dari sergapan Cakrabirawa selain AH Nasution.
Sepak terjang Sukendro tak jauh beda dengan anak muda pada masa sebelum kemerdekaan lainnya.
Ia bergabung dengan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) sebagai seorang anggota perang bentukan Jepang kala masih menduduki Indonesia.
Namun saat awal kemerdekaan Indonesia, Sukendro bergabung dengan BKR (sebelum TNI) di divisi Siliwangi.
Di sanalah Nasution menemukan Sukendro, seorang anggota tentara yang lain dari pada pasukan yang ada.
Cara berpikir dan kemampuan analisa Sukendro di atas rata-rata perwira tentara lainnya kala itu.
Bahkan kepandaiannya dalam hal keprajuritan membawanya diangkat menjadi Asintel I KSAD.
Saat AH Nasution menjabat menjadi Kepala Staff Angkatan Darat.
Pada 1957, saat perwira-perwira daerah resah dengan kebijakan Jakarta dan berniat menuntut opsi otonomi, Sukendro – tentunya atas perintah Nasution – menggelar operasi intelijen.
Orang-orangnya masuk ke daerah dan menginfiltrasi pola pikir para perwira di daerah.
Hasilnya, saat suasana memuncak, praktis hanya komandan di Sumatra (PRRI) dan Sulut (Permesta) yang menyatakan diri berpisah dari Indonesia.
Lainnya, menarik dukungannya dan tetap dalam kibaran Merah Putih.
Ia juga disegani di lingkup internasional, buktinya saat menempuh pendidikan di Amerika Serikat, ia sukses menjalin hubungan dengan badan intelejen AS.
Bahkan bisa dikatakan ia sebagai seorang penjembatan bagi CIA dan TNI dalam menjalin kerjasama.
Namun sepak terjangnya dalam bidang intelejen pernah diragukan.
Bahkan dalam salah satu versi skenario Gestok, karena kecerdasan dan lobi baiknya dengan CIA, Sukendro disebut-sebut sebagai salah satu orang yang layak dicurigai sebagai dalang, seperti disebut dalam buku Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto karangan FX. Baskara Tulus Wardaya.
Di sisi lain justru PKI menganggap Sukendro sebagai ancaman serius dan harus diberantas.
Sukendro termasuk sosok penting di tubuh militer. Namanya masuk dalam grup jenderal elite yang dekat dengan Nasution maupun Yani.
Belakangan grup ini dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Anggotanya 25 orang, namun empat motornya adalah Mayjen S Parman, Mayjen MT Haryono, Brigjen Sutoyo Siswomihardjo, dan Brigjen Sukendro sendiri.
Grup ini aktif melakukan counter politik untuk menandingi dominasi PKI. Nah, pokal Sukendro ini tentu saja membuat PKI geram.
Sebelum terjadinya kasus G30S/PKI, ia terselamatkan karena mendapatkan tugas langsung dari Sukarno.
Soekarno meminta Sukendro menjadi anggota delegasi Indonesia untuk peringatan Hari Kelahiran Republik Cina, 1 Oktober 1965.
Selepas peristiwa berdarah dan mengerikan tersebut, namanya mulai meredup seiring dengan mengorbitnya Ali Moertopo.
Hal tersebut tidak membuat peran Sukendro mulai tersisih, buktinya Sukendro masih loyal dengan Sukarno.
Dalam biografi AM Hanafi, mantan Dubes Indonesia untuk Kuba tersebut menceritakan kesetiaan Sukendro pada sang Presiden.
Pada 11 Maret 1966, ketika Presiden diikuti para waperdam tergopoh-gopoh menuju Bogor karena takut dengan Pasukan Kemal Idris, Sukendro menyarankan AM Hanafi untuk mengejar presiden dan menempelnya di mana pun juga Soekarno berada.
“Jangan tinggalkan Bapak sendirian,” kata Sukendro. Sepertinya insting intelijen Suekndro masih cukup tajam untuk membaca arah zaman.
Sayang, AM Hanafi hanya bisa menyesal karena tak kebagian helikopter pada hari itu.
Dan petangnya saat utusan Soeharto mendapatkan Surat Penyerahan Kekuasaan (Supersemar) dibarengi dengan naiknya Soeharto ke puncak kekuasaan.
Membuat kiprah seorang perwira intelejen, Ahmad Sukendro meredup, ia tak mau dibungkam.
Dalam sebuah kursus perwira di Bandung, ia secara mengejutkan mengakui keberadaan Dewan Jenderal.
Hal tersebut membuat Soeharto naik pitang dan langsung menyuruh Pangkopkamtib kala itu, Jenderal Sumitro untuk mengirim Sukendro ke dalam bui RTM Nirbaya Cimahi selama 9 bulan.
Tentunya tanpa diadili terlebih dahulu.
Baca Juga: Terungkap! Keadaan Rumah di Balik Foto-foto Estetik Influencer Cantik yang Sukses Bikin Jijik Publik
Selepas dari penjara, Sukendro ditampung oleh Gubernur Jateng kala itu, Sipardjo Rustam memberi kepercayaan padanya untuk mengelola perusahaan daerah Jateng.
Walaupun karier keperwiraannya meredup, namun ia dianggap salah satu orang intelejen yang hebat.
Terbukti dari ungkapan Sumitro yang dikutip dari Intisari, “Tidak ada orang intelijen yang lebih hebat daripada dia. Karena itu saya selalu mencurigainya.” (*)