Kontradiktif, Jika 30.000 Napi Dibebaskan guna Relaksasi Kapasitas Lapas, Mengapa Penghina Presiden dan Pejabat Pemerintahan Terancam Bui?

Selasa, 07 April 2020 | 11:30
Ilustrasi penjara/pexels.com

Disaat 30.000 napi dewasa dan anak bakal dibebaskan demi melonggarkan kapasitas lapas, penghina presiden dan pejabat pemerintahan bakal dipenjarakan

Sosok.ID - Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait upaya menanggulangi pandemi Covid-19, dianggap tumpang tindih dan kontradiktif.

Seperti diketahui, sesuai Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020, setidaknya ada 30.000 napi yang rencananya akan dibebaskan untuk merelaksasi kapasitas lapas yang kian penuh.

Kebijakan ini diambil demi mengantisipasi adanya penyebaran kasus virus corona di penjara.

Sementara usulan Menkumham, Yasonna Laoly perihal pembebasan napi koruptor, telah tegas ditolak oleh Presiden Joko Widodo.

Baca Juga: Waduh, Para Tikus Berdasi Pemakan Duit Rakyat Bakal Bebas bersama 30.000 Napi Lain, Menteri Hukum dan HAM sampai Bongkar Aturan Lawas

Terkait dibebaskannya 30.000 napi dewasa dan anak, Jokowi bahkan mencontohkan negara lain yang mengambil kebijakan serupa.

Hal ini disampaikan Presiden saat membuka rapat terbatas melalui sambungan konferensi video, Senin (6/4/2020).

"Seperti negara lain di Iran membabaskan 95.000, di Brazil 34.000 napi," kata Jokowi memberikan contoh pembebasan napi umum di negara lain, dikutip dari Kompas.com.

"Negara-negara lain juga. Minggu lalu ada juga pembebasan napi karena memang lapas kita overkapasitas. Berisiko mempercepat penyebaran Covid-19 di lapas kita," lanjutnya.

Baca Juga: Yasonna Laoly Jangan Mimpi! Jokowi Tegaskan Tak Bakal Bebaskan Napi Koruptor, Menko Polhukam: Mereka Lebih Bagus Isolasi di Lapas Ketimbang di Rumah

Melansir Kompas.com, proses pembebasan napi ini melalui asimilasi dengan sejumlah ketentuan.

Ketentuan tersebut antara lain, napi yang dua per tiga masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020; dan anak yang setengah masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.

Ada pula napi dan anak yang tidak terkait dengan PP Nomor 99 Tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsidair dan bukan warga negara asing, tulis Kompas.com.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menganggap, terdapat tumpang tindih kebijakan tersebut dengan kebijakan lain.

Baca Juga: Resmi! DKI Jakarta Segera Terapkan PSBB Secepatnya, Begini Kata Kemenkes: Seluruhnya Itu Ada di Pak Gubernur...

Pasalnya, pada saat yang sama muncul kebijakan dalam Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang ditandatangani Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo tertanggal 4 April 2020.

Dijelaskan dalam aturan tersebut, masyarakat yang menghina Presiden Joko Widodo maupun pejabat pemerintah lainnya dalam menangani Covid-19 di media sosial dapat terancam sanksi pidana.

Keabsahan surat telegram tersebut juga telah dikonfirmasi oleh Karo Penmas Polri Brigjen Pol Argo Yuwono.

"Bentuk pelanggaran atau kejahatan serta masalah yang mungkin terjadi dalam perkembangan situasi serta opini di ruang siber: penghinaan kepada penguasa/Presiden dan pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 207 KUHP," tulis surat telegram tersebut seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (7/4).

Baca Juga: Sama-sama Ajukan Pembebasan Bersyarat 30 Ribu Napi ke Kemenkumham Bareng Roro Fitria, Saipul Jamil Gagal Hirup Udara Bebas, Ada Apa?

Sesuai Pasal 207 KUHP, maka pelaku penghinaan dapat terancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.

Erasmus menanggapi dua kebijakan tersebut sebagai hal yang kontradiktif.

Sebab memenjarakan penghina presiden justru bakal berpotensi membuat lapas makin sesak, alih-alih melonggarkan.

"Itulah kalau pemerintah enggak mempunyai konsep untuk menghadapi Covid-19. Kasihan pasukan di bawah. Orang (Ditjen) Pemasyarakatan pasti pusing betul," kata Erasmus, Senin (6/4).

Baca Juga: Saat Ketidaktegasan Jokowi Dikritik Bekas Pasangannya: Kalau Tidak Ada Larangan Mudik, Ya Mumet Aku, Harusnya Ada Aturan!

Dalam surat telegram terbitan Kapolri, jajaran Polri digiatkan untuk melakukan patroli, mengawasi perkembangan situasi dan opini di ruang siber.

Erasmus mengatakan, narasi hukuman yang dikeluarkan Polri justru membuat bingung masyarakat awam.

"Lho kok mau dihukum lagi padahal pemerintah yang bilang lapas penuh. Untuk kejahatan enggak penting dan tidak berdasar pula seperti penghinaan Presiden," ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya telah membatalkan adanya pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP.

Baca Juga: Hati-hati, 70 Persen Kasus Infeksi Corona di Indonesia Muncul dari Orang Tanpa Gejala, Waspadai dan Patuhi Imbauan sebab Covid-19 Makin Sulit Dikenali

MK menilai, Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP yang tertuang dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang rentan manipulasi.

"Bagaimana polisi dan pemerintah menyuruh kita ikut aturan, kalau mereka juga enggak mau ikutin aturan sederhana kayak putusan MK? Kan konyol ini," tandasnya

Adapun sesuai Pasal 207 KUHP disebutkan, "Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

(*)

Editor : Rifka Amalia

Sumber : Kompas.com

Baca Lainnya