Deborah bukan satu-satunya yang mimpinya untuk belajar di luar negeri telah kandas.
Kudeta telah membuat sistem pendidikan tinggi Myanmar, yang sudah termasuk yang terlemah di dunia, menjadi semakin berantakan.
Baca Juga: Junta Militer Myanmar Dikeluarkan dari KTT ASEAN, Coreng Nama Asia Tenggara
Ketika kesempatan belajar di dalam negeri berkurang, ekonomi runtuh. Pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan berlipat ganda, menjadikan belajar di luar negeri sebagai secercah harapan bagi banyak anak muda.
Namun tidak semudah itu, rintangan demi rintangan harus mereka lalui.
Mimpi-mimpi yang sudah lama dibangun, hilang begitu saja karena kekacauan negara.
“Kalau bicara pendidikan, semuanya stuck di Myanmar,” kata Bawi Za (nama samaran), mahasiswa dari Negara Bagian Chin yang tidak bisa pergi ke AS untuk mengikuti program beasiswa magister yang dia terima.
“Ini seperti tidak ada harapan bagi pemuda Myanmar dan pelajar Myanmar.”
Di masa lalu, saat militer pertama kali merebut kekuasaan di Myanmar pada tahun 1962, hal itu menyeret Myanmar ke dalam setengah abad pemiskinan dan isolasi, yang berdampak buruk pada pendidikan tinggi.
Para jenderal sangat menyensor akses ke informasi dan secara ketat mengontrol universitas-universitas di negara itu dengan menerapkan model pembelajaran hafalan dan bahkan menutup institusi untuk waktu yang lama.
Pada tahun 1988, protes yang dipimpin mahasiswa yang melanda negara itu tidak hanya ditanggapi dengan kekerasan yang mematikan dan penangkapan massal; universitas di Yangon, kota terbesar, ditutup selama 10 dari 12 tahun berikutnya.