Volume perdagangan antara AS dan Indonesia tahun lalu mencapai lebih dari US$27 miliar, meskipun angka ini dikerdilkan oleh US$71,4 miliar dengan China, yang sekarang menjadi mitra dagang terbesar dan investor asing terbesar kedua.
Namun, hubungan China dengan Indonesia tidak semuanya mulus.
Indonesia adalah non-penggugat dalam laut Cina Selatan, tetapi bagian dari zona ekonomi eksklusifnya di Laut Natuna Utara berada dalam wilayah yang disengketakan.
Indonesia juga semakin khawatir tentang pembengkakan anggaran dalam membangun kereta api berkecepatan tinggi Jakarta-Bandung dan telah mencari kesepakatan dengan Beijing untuk membiayainya.
Beberapa analis, seperti Evan Laksmana, peneliti senior di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Indonesia, mempertanyakan apakah Jakarta siap menghadapi perubahan tatanan.
Yohanes mengatakan Indonesia perlu menentukan kepentingan strategisnya sebelum memutuskan langkah selanjutnya jika tatanan regional berubah.
“Sampai hari ini saya belum pernah mendengar kepentingan strategis Indonesia yang jelas," katanya.
“Indonesia tahu apa yang tidak diinginkannya tetapi tidak tahu apa yang diinginkannya.”
Jakarta juga mewaspadai jika terlalu bergantung pada AS, Washington dapat menjatuhkan sanksi ke Indonesia yang dianggap melanggar HAM karena kasus Timor Timur.
Contohnya saja penangguhan hubungan militer AS dengan Jakarta oleh mantan presiden Bill Clinton pada tahun 1999 dan ancamannya untuk menghentikan bantuan ekonomi kecuali kekerasan di Timor Timur dihentikan.