Terkait hal itu, sudah ada lima entitas pengelola dana asing yang berkomitmen untuk menginvestasikan total sebesar US$ 9,8 miliar di INA. Namun absennya China dalam daftar penyokong dana investas di INA telah menimbulkan kecurigaan bahwa Indonesia berusaha menghindari investasi dari negara ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Penulis Buletin yang berfokus pada masalah Indonesia, Kevin O'Rourke, mengatakan, hal itu menegaskan bahwa Indonesia khawatir bahwa Beijing pada akhirnya dapat menegaskan kendali atas infrastruktur utama di Indonesia bila China masuk dalam daftar investor di INA.
“Meskipun tidak pernah diakui, tapi ada alasan kuat bahwa pemerintah Indonesia ingin menjaga aktivitas infrastrukturnya di bawah kendali kepemilikan negara karena ketakutan laten bahwa proyek strategis ini akan dikendalikan China ” kata O'Rourke seperti dilansir South China Morning Post.
O'Rourke melanjutkan, pemerintah Indonesia meragukan swasta atas kepemilikan aset terutama infrastruktur penting. Hal itu terjadi karena sebagian besar modal swasta untuk proyek-proyek infrastruktur berasal dari luar negeri.
Sejauh ini, The Japan Bank for International Cooperation, telah menyatakan komitmen menggelontorkan dana sebesar US$ 4 miliar kepada. Kemudian, US International Development Finance Corporation juga telah berkomitmen memberikan dana sebesar US$ 2 miliar. Kedua institusi ini memimpin daftar investor asing yang menyuntikkan dana ke INA.
Diketahui sebelumnya gejolak hubungan internasional antara China dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara memang sedang tak begitu bagus.
Mengingat Tiongkok kini disebut tengah gencar untuk melegitimasi keberadaannya di Laut China Selatan.
Salah satunya adalah sengketan kepulauan Paracel yang sampai sekarang masih menjadi klaim dari beberapa negara.
Bahkan sebelumnya, Indonesia digadang-gadang menjadi satu-satunya negara yang bisa meredam gejolak di kawasan tersebut.