Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Indonesia Latah Stigma Negatif, Ketakutan Tertular Virus Corona Berujung Melukai Tenaga Medis Secara Mental dan Psikis

Rifka Amalia - Minggu, 05 April 2020 | 12:00
(ILUSTRASI) Meski telah berjuang keras di garda depan untuk perangi virus corona, petugas medis dan perawat di Indonesia masih dibanjiri stigma negatif
Kolase Oriental Daily via World of Buzz

(ILUSTRASI) Meski telah berjuang keras di garda depan untuk perangi virus corona, petugas medis dan perawat di Indonesia masih dibanjiri stigma negatif

Sosok.ID - Indonesia, masih belum dewasa menyikapi pandemi virus corona.

Meski banyak yang menyanjung dan menghargai kerja keras tenaga medis, namun tak sedikit masyarakat yang melakukan stigma negatif pada dokter maupun perawat.

Ketakutan berlebihan dan kurangnya wawasan, membuat kita sering kali lupa untuk memanusiakan manusia.

Di tengah hiruk pikuk penanganan pandemi Covid-19, ada tenaga medis yang bekerja dalam senyap.

Di garda depan, mereka mempertaruhkan nyawa untuk merawat para pasien yang terjangkit.

Baca Juga: Curhat Pilu Keluarga Pasien Postif Virus Corona di Indonesia, Dikucilkan hingga Diteror Para Tetangga karena Dianggap Sebagai Aib

Salah satunya Minarsih (47), perawat ruang isolasi RSUD Gambiran, Kota Kediri, Jawa Timur.

Minarsih menceritakan, tidak semua perawat mau ditempatkan di ruang isolasi karena risikonya tinggi.

Sejak wabah corona melanda Kota Kediri, RSUD Gambiran membentuk tim dan sarana perawatan pasien yang terpapar penyakit. Minarsih merupakan salah satu anggota tim.

Sebelum wabah merebak, Minarsih bertugas di bagian Pengendalian Pencegahan Infeksi (PPI).

Kini dia dipindahkan ke bagian isolasi pasien penyakit menular untuk membantu penanggulangan Covid-19.

Baca Juga: Dua Pria Ini Memilih Dipenjara karena Nekat Memancing di Tengah Pandemi Corona daripada Didenda, Alasannya Sungguh Tragis!

Banyak rekannya yang menolak tugas tersebut, tapi Minarsih justru menerima.

Sebagai seorang perawat, dia mengaku tak boleh menolak tugas kemanusiaan apapun risikonya, termasuk kemungkinan terpapar virus mematikan dari pasien yang dirawat.

Menurut Minarsih, tugas yang diemban ini tak sebanding dengan penderitaan dan ketakutan pasien yang terindikasi corona.

“Setiap kali pasien dimasukkan ruang isolasi, wajah mereka sangat tegang dan depresi. Bahkan ada yang nyaris bunuh diri karena stres,” ungkap Minarsih dikutip dari Surya, Jumat (3/4/2020).

Sehingga peran Minarsih dan tenaga medis di ruang isolasi sangat dibutuhkan.

Baca Juga: Hadapi Corona: Ini 10 Cara Sederhana dan Alami untuk Tingkatkan Sistem Kekebalan Tubuh

Setiap hari mereka membangun komunikasi dan membangkitkan semangat pasien untuk sembuh.

Namun ironisnya, tugas berat itu tak diimbangi dengan pemenuhan alat pelindung diri (APD) yang memadai.

Padahal setiap saat Minarsih dan teman-temannya berpotensi terpapar virus corona saat berinteraksi di ruang isolasi.

“Kami terpaksa mengurangi intensitas keluar masuk ruang isolasi karena keterbatasan APD. Di zona merah, APD hanya bisa dipakai sekali dan langsung dibuang,” ucap Minarsih.

Sebagai gantinya, Minarsih membentuk grup WhatsApp yang terdiri dari petugas ruangan dan pasien.

Baca Juga: Diteror Tetangga Gegara Istrinya Positif Corona, Suami di Lampung Ancam Bakar Rumah Sendiri Lantaran Dilarang Kemana-mana: Covid-19 Bukan Aib!

Sehingga komunikasi bisa dilakukan secara daring tanpa harus masuk ke dalam ruang isolasi.

Selain menghilangkan kebosanan dan menyampaikan motivasi, grup WA juga dipakai untuk melaporkan kebutuhan pasien, seperti cairan infus yang habis.

Melalui WA pula para pasien bisa saling berinteraksi dan mengenal satu sama lain, dan membangun semangat sembuh bersama-sama.

Rekan Minarsih, Tri Sudaryati (54) memberikan kesaksian sama.

Perawat senior ini bahkan mengalami tekanan mental di luar tempat kerjanya sejak merawat pasien corona.

Baca Juga: Donald Trump Sendiri Sudah Pontang-panting, Prabowo Justru Tetap Minta Bantuan Atasi Corona pada Amerika Serikat, Ini yang Terjadi..

“Mereka mengucilkan saya karena dianggap bisa menularkan virus. Padahal tidak sesederhana itu,” katanya.

Apalagi dahsyatnya pemberitaan tentang penularan corona secara langsung turut memojokkan para perawat.

Tak hanya oleh tetangga di rumah, beberapa rekan kerja di rumah sakit turut menjaga jarak dengan para tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi.

Mereka tak mau tertular oleh virus mematikan yang hingga kini belum ditemukan obatnya.

Malahan langkah ekstrim dilakukan Minarsih terhadap keluarganya.

Baca Juga: Xi Jinping Turut Prihatin Covid-19 Merebak di Nusantara, Jokowi Tegur Rakyat soal Stigmatisasi, Indonesia dan China Bahu-membahu demi Merdeka dari Corona

Karena sampai sekarang Minarsih tak pernah menceritakan tugasnya merawat pasien corona kepada anak-anaknya.

Dia tak ingin mereka berpikir jauh dan ketakutan atas profesi yang dijalani ibunya.

“Saya juga terpaksa tidur terpisah dengan anak saya agar tidak terpapar. Sejak bertugas di ruangan ini, secara otomatis saya masuk dalam kategori orang dalam resiko,” tambahnya.

Untuk menjaga keluarganya, Minarsih menerapkan protokol ketat tentang kebersihan.

Usai bertugas, dia ganti baju di ruangan khusus sebelum meninggalkan rumah sakit.

Baca Juga: Malang Tak Dapat Ditolak, Dokter Muda Pejuang Corona Ini Dianggap telah Tularkan Virus dan Berakhir Tewas di Tangan Perawat yang juga Kekasihnya, Walikota Angkat Bicara

Setiba di rumah, Minarsih langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan keramas, serta mencuci pakaiannya.

Baru setelah itu dia bisa mendekati anak-anaknya tanpa bisa berpelukan.

Dengan risiko itu, baik Minarsih maupun Tri Sudaryati harus tetap membangun optimisme pasien di rumah sakit.

Mereka juga selalu siap menjadi tempat curhat saat kondisi pasien sedang drop atau sedih.

“Semua pasien harus dalam kondisi baik, nyaman, dan bahagia. Karena itu modal awal untuk sembuh,” kata Sudaryati.

Baca Juga: Jadi Dokter Pertama yang Ungkap Kasus Virus Corona di China, Ai Fen Menghilang Secara Tiba-tiba Setelah Negaranya Terbebas Dari Covid-19

Para perawat ini juga merangkap menjadi kurir untuk mengantarkan titipan dari keluarga pasien.

Karena keterbatasan APD, pengantaran itu tak bisa dilakukan setiap saat.

Ini berbeda dengan pasien di ruang perawatan lain yang bebas keluar masuk tanpa membutuhkan perlengkapan khusus.

Minarsih dan Tri Sudaryati berharap mendapat bantuan APD agar bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal.

Mereka juga berharap wabah ini segera berakhir, dan bisa menjalani kehidupan normal bersama keluarga.

Baca Juga: Hadapi Corona: 10 Makanan Penghilang Stres yang Harus Anda Miliki Selama Social Distancing, Salah Satunya Susu Hangat

“Dibutuhkan ketulusan, keikhlasan, dan percaya pada Allah untuk mengemban tugas ini. Kalau Allah tidak menghendaki kami tertular, Insya Allah aman,” ungkapnya.

Saat ini terdapat 12 tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi RSUD Gambiran.

Mereka bekerja secara bergilir selama 24 jam untuk memastikan pasien yang dirawat baik-baik saja.

Sementara Direktur RSUD Gambiran dr Fauzan Adhima mengakui ketersediaan APD memang terbatas.

Baca Juga: Ahli Spiritual Ini Beberkan Jika Para Makhluk Astral Sudah Mengadakan Rapat Terkait Wabah Virus Corona di Indonesia

“Pada awal-awal sempat ada kesulitan penyediaan APD karena banyak distributor yang menghentikan pengiriman. Tapi saat ini ketersediaan APD relatif sudah mencukupi, semoga pasien covid-19 tidak nambah lagi sehingga APD-nya tetap tercukupi," ungkapnya.

Manajemen rumah sakit sangat mengapresiasi semua tenaga medis, paramedis, dan petugas lainnya yang telah all out memberikan pelayanan terbaik bagi pasien Covid-19 di RSUD Gambiran.

"Semoga tenaga medis, paramedis, dan lainnya selalu diberikan kesehatan," harapnya. (Didik Mashudi)

Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul: Kisah Perawat Pasien Covid-19 RSUD Gambiran 2 Kediri, Buat Grup WhatsApp untuk Curhat dengan Pasien

Editor : Sosok

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

x