Sosok.ID - Meski beberapa waktu ini terlihat adem ayem, ternyata kawasan Laut China Selatan masih memiliki tingkat konflik yang sangat tinggi.
Bahkan beberapa pakar mengungkapkan apa yang terjadi di Laut China Selatan saat ini bisa memicu perang dunia ketiga terjadi.
Termasuk dengan kegiatan militer yang dilakukan oleh dua negara dengan kekuatan perang paling besar di dunia, yakni China dan Amerika Serikat (AS).
Nama Indonesia dan beberapa negara tetangga pun ikut terseret dalam konflik yang terjadi di Laut China Selatan tersebut.
Militer China mengatakan, mereka "mengusir" sebuah kapal perang AS yang secara ilegal memasuki perairan Tiongkok di dekat Kepulauan Paracel Laut China Selatan pada Senin (12 Juli).
USS Benfold memasuki perairan Paracels tanpa persetujuan Pemerintah China, melanggar kedaulatan China dan merusak stabilitas Laut China Selatan, Komando Teater Selatan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) mengatakan.
"Kami mendesak Amerika Serikat untuk segera menghentikan tindakan provokatif seperti itu," kata Komando Teater Selatan dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Reuters.
Angkatan Laut AS tidak segera berkomentar.
Baca Juga: Mulai Berani? Taiwan Desak AS Hancurkan China untuk Hentikan Invasi, Ketakutan Perang Sangat Kencang
Paracel terdiri ratusan pulau, terumbu karang, dan atol di Laut Cina Selatan yang kaya sumber daya yang diperebutkan oleh Cina, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei.
Beijing mengklaim hak bersejarah atas sumber daya dalam apa yang mereka sebut garis sembilan putus atas sebagian besar Laut China Selatan.
Pada 12 Juli 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag memutuskan, China tidak memiliki hak bersejarah atas Laut China Selatan.
Baca Juga: Penyusup Dari Tiongkok Sampai Kocar Kacir, Inilah Pasukan
Pengadilan juga menyatakan, China telah mengganggu hak penangkapan ikan tradisional Filipina di Scarborough Shoal dan melanggar hak kedaulatan Filipina dengan mengeksplorasi minyak dan gas di dekat Reed Bank.
Dalam sebuah pernyataan tertulis pada Minggu (11/7), Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan, kebebasan laut adalah kepentingan "abadi" semua negara.
"Tidak ada tatanan maritim berbasis aturan di bawah ancaman yang lebih besar dibanding di Laut China Selatan," kata Blinken, seperti dilansir Reuters.
"Republik Rakyat China terus memaksa dan mengintimidasi negara-negara pesisir Asia Tenggara, mengancam kebebasan navigasi di jalur global yang kritis ini," imbuh dia.
(*)