Titik inilah yang tampaknya menjadi titik di mana Indonesia yang memiliki sengketa wilayah di Laut Cina Selatan, menggerakkan jari telunjuknya.
Alasan di pihak Jepang kerja sama dengan Indonesia adalah tiga prinsip transfer alutsista.
Pedoman operasional untuk tiga prinsip transfer alutsista yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan membatasi penggunaan ekspor menjadi lima: penyelamatan, transportasi, kewaspadaan, pengawasan, dan penyapuan ranjau.
Kapal pengawal terbaru Maritime Self-Defense Force (MSDF) yang rencananya akan diproduksi kali ini di Indonesia itu merupakan kapal yang tidak hanya bisa disiagakan dan dipantau tapi juga penyapu ranjau.
Demikian pula memungkinkan untuk menenggelamkan kapal dan menembak jatuh pesawat.
Oleh karena itu, ini menyimpang dari batasan penggunaan di atas. Namun, batasan penggunaan ini untuk "mengekspor", dan tidak ada batasan penggunaan untuk pengembangan dan produksi bersama internasional.
"Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menggunakan metode produksi bersama dan menerima pesanan dari Indonesia," ungkap sumber Tribunnews.com, Kamis (20/5/2021).
Situasi di pihak Indonesia sama seperti banyak orang di Jepang yang sangat merekomendasikan alutsista produksi dalam negeri.
Di Indonesia yang merupakan negara kepulauan seperti Jepang dan sangat membutuhkan pertahanan maritim, jika mengandalkan impor kombatan, dan jika yang berkonflik adalah eksportir kapal-kapal itu, maka semua kelemahannya akan tampak dan berada dalam kondisi tercengkeram kurang baik.
Itu sebabnya Indonesia ingin memproduksi kombatan di negaranya sendiri, kecuali yang belum memiliki teknologi konstruksi di negaranya sendiri.