"Indonesia adalah tokoh sentral untuk tujuan tersebut," tulis SCMP.
"Negara ini telah menyelenggarakan lokakarya tentang Mengelola Potensi Konflik di Laut China Selatan sejak tahun 1990-an. Pada September 2012, Indonesia datang dengan Zero Draft untuk memajukan pembicaraan CoC."
Kerja sama vaksin tidak boleh memberangus negara dari desakan China untuk berperilaku sah di Laut China Selatan.
Pada tahun 2020, ketika Indonesia secara intensif membahas kerja sama vaksin dengan China, Jakarta mengirimkan dua catatan diplomatik kepada Sekjen PBB yang menolak klaim Beijing di Laut China Selatan, mengutip putusan 2016 dari Pengadilan Permanen Arbitrase di Den Haag, yang membatalkan apa yang disebut China sebagai klaim sembilan garis putus-putus.
Indonesia menjadi negara yang tegas menolak klaim Laut China Selatan. Karena wilayah Natuna Utara adalah jelas milik Indonesia, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk bersengketa dengan klaim abal-abal China.
Bagi Jakarta, keputusan 2016 dan United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos) 1982 tidak dapat dipisahkan dan merupakan prasyarat bagi perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.
Menyusul insiden kapal penangkap ikan Tiongkok yang melanggar zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna pada Januari 2020, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengeluarkan pernyataan yang menentang klaim Laut China Selatan dengan mengambil keputusan tahun 2016.
"Ini adalah pertama kalinya pihak ketiga melakukannya. Dengan membatalkan sembilan garis putus-putus Tiongkok, putusan tahun 2016 tersebut juga menetapkan aktivitas Tiongkok di perairan Natuna sebagai melanggar hukum."
"Jakarta dengan tegas menolak tawaran Beijing untuk "negosiasi" pada Juni 2020 karena tidak ada klaim yang tumpang tindih," sorot media itu.
Pada awal Juli 2020, China mengadakan latihan militer di dekat Kepulauan Paracel yang diklaim oleh Beijing dan Hanoi, sementara Washington mengerahkan dua kapal induk, USS Nimitz dan USS Ronald Reagan, untuk "mendukung Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka".