“Kalau bikin ribut, pasti jauh lebih mudah ditemukan,” ujar Clark.
Tanpa ping yang mengganggu atau suara bising lainnya, tim pencarian dan penyelamatan dibatasi untuk menggunakan sonar aktif, mempersempit pemindaian dan memperpanjang waktu yang diperlukan untuk memetak suatu area.
Sementara sonar pasif melibatkan mendengarkan suara yang datang dari objek di laut, sonar aktif mengacu pada suara ping dari objek di laut dan mendengarkan gema.
TNI AL menetapkan bahwa kapal selam tersebut menghilang di perairan utara pulau Bali.
Tim pencari menemukan bahan bakar minyak mengapung di sekitar lokasi, sehingga mempersempit wilayah pencarian.
Di area umum ini, unit pencarian mendeteksi objek dengan "resonansi magnet yang kuat" yang mungkin berasal dari kapal selam yang hilang.
Clark menyoroti, Angkatan Laut Indonesia mengatakan kapal itu mungkin tenggelam hingga kedalaman lebih dari 700 meter atau 2.000 kaki, yang ungkapnya akan mempersulit pencarian lebih lanjut.
Kedalaman tersebut tidak hanya melampaui kedalaman maksimum KRI Nanggala-402, tetapi juga berpotensi menempatkannya pada risiko runtuhnya lambung yang dahsyat, atau membuatnya berada di luar jangkauan opsi pemulihan yang tersedia.
Apalagi kata Clark, sama seperti ketika pesawat terbang jatuh ke laut, melakukan pencarian di dasar laut yang gelap sangatlah sulit.
"Seperti yang kita lihat dengan berbagai kecelakaan pesawat, sulit menemukan sesuatu, bahkan yang besar, ketika turun ke dasar laut, karena tercampur dengan kekacauan di sana," katanya.