"Kenyataannya adalah bahwa sepanjang 1999, ketika ketegangan terus meningkat di Timor Lorosa'e setelah Presiden Indonesia BJ Habibie mengumumkan tindakan penentuan nasib sendiri, Australia sangat ingin menghindari penempatan pasukan penjaga perdamaian militer dan ingin menenangkan diri," katanya.
Ia mengungkapkan bahwa militer Amerika Serikat-lah yang memiliki peran dalam masa tersebut.
Daled mengungkapkan bahwa serangkaian dokumen yang dirilis oleh proyek Indonesia dan Timor Lorosa'e yang berbasis di AS lebih jauh menjelaskan apa yang selalu ditunjukkan oleh analisis subversif.
"Pemerintah federal kita sangat ingin mengecilkan perbedaannya yang sebenarnya dengan AS sepanjang 1999 tentang perlunya penempatan penjaga perdamaian dini untuk mengakhiri kekerasan yang diantisipasi," katanya.
"Pada akhirnya juga mengandalkan ancaman kekuatan militer Amerika untuk mendapatkan Jakarta agar mengizinkan Interfet yang dimandatkan PBB ke Timor Lorosa'e," lanjutnya.
Hal lain yang diungkap dokumen tersebut yaitu bahwa menteri Australia, termasuk Howard dan menteri luar negeri saat itu, Alexander Downer, menolak anggapan bahwa TNI mengatur kekerasan, dengan menyatakan bahwa hanya 'elemen liar' atau 'elemen nakal' yang terlibat.
"Sejauh itulah Australia akan membantu Jakarta menyelamatkan muka, untuk melindungi hubungan bilateral (Australia) yang berharga dengan Indonesia," tulisnya.
Dokumen-dokumen tersebut juga menyoroti realpolitik di balik upaya Washington untuk menjaga hubungan militer dengan Indonesia, terlepas dari pengetahuan terperinci tentang kekerasan yang diatur TNI dan masalah hak asasi manusia di Kongres.
"Sebagai koresponden luar negeri dan pertahanan yang berbasis di Canberra, pada 1 Agustus 1999 saya melaporkan untuk Sunday Age bagaimana para pejabat Australia pada awal tahun itu membicarakan tawaran AS untuk misi penjaga perdamaian awal (untuk menghindari kekerasan yang akhirnya terjadi), mungkin melibatkan Marinir ," katanya.