Jakarta menanggapi dengan mengirimkan delapan kapal patroli, mengacak jet tempur F-16 dan mengatur armada penangkap ikannya sendiri untuk membantu pengawasan.
Pada bulan Mei, Jakarta mengirimkan catatan resmi pengaduan kepada Sekretaris Jenderal PBB yang menyatakan bahwa Beijing tidak menghormati keputusan pengadilan tersebut.
Namun China, penandatangan perjanjian UNCLOS, bersikeras bahwa hukum laut tidak berlaku - dan bahwa keputusan pengadilan itu "ilegal".
The Global Times selanjutnya mengeluh: "Proposal bahwa sengketa laut harus diselesaikan sesuai dengan UNCLOS sebenarnya tidak masuk akal."
Kementerian Luar Negeri China mengatakan tidak mengklaim Pulau Natuna itu sendiri. Sebaliknya, ia mengklaim tempat penangkapan ikan yang kaya di utara dan timurnya.
Tapi itu menolak untuk menentukan koordinat pasti dari batas sewenang-wenang ini.
Jakarta berpendapat bahwa perairan tersebut adalah milik Indonesia di bawah ketentuan zona ekonomi eksklusif UNCLOS berdasarkan kepemilikannya di Natuna.
Di tengah kebuntuan, Beijing Global Times dengan tegas merujuk pada kemampuan terbatas Indonesia untuk mempertahankan wilayahnya.
"Pemotongan anggaran pertahanan telah melemahkan kemampuan militer negara di Laut Cina Selatan termasuk Kepulauan Natuna," bunyi artikel itu.