Oriana Skylar Mastro, seorang asisten profesor studi keamanan di Universitas Georgetown, menyoroti bahwa China telah menjadi lebih agresif di wilayah Laut China Selatan.
"Sampai saat ini, konflik sebagian besar telah dihindari karena China telah menggunakan langkah-langkah pemaksaan ekonomi dan diplomatik untuk memperluas dan mengkonsolidasikan kontrolnya atas Laut China Selatan," ungkapnya, pada bulan Mei lalu.
"Namun, dalam beberapa bulan terakhir, China mulai lebih mengandalkan sarana militer untuk secara agresif menegaskan klaim China," tambahnya.
Konflik atas wilayah tersebut kian sengit saat sebuah laporan yang dirilis pada bulan Februari mengklaim adanya kapal Angkatan Laut China yang mengarahkan "radar pengendali tembakan" ke kapal Angkatan Laut Filipina di lepas pantai Commodore Reef di Kepulauan Spratly.
Klaim tersebut dibantah Tiongkok. Mereka mengaku tak mengarahkan moncong ke arah musuh di Laut China Selatan.
Negara yang dipimpin oleh Xi Jinping ini juga dituduh memanfaatkan krisis virus corona untuk menegaskan dominasi lebih lanjut di Laut China Selatan.
Sementara AS berupaya untuk menghentikan ambisi Beijing di wilayah tersebut.
Washington membuat tuduhan itu pada bulan April ketika beberapa sumber melaporkan bahwa pasukan China meningkatkan patroli dan latihan angkatan laut di perairan yang diperebutkan.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan dalam sebuah pernyataan: "Kami menyerukan kepada RRT (Republik Rakyat China) untuk tetap fokus dalam mendukung upaya internasional untuk memerangi pandemi global dan berhenti mengeksploitasi gangguan atau kerentanan negara lain untuk memperluas klaimnya yang melanggar hukum di Laut China Selatan. "