Ia dan empat WNI lainnya menuju laut di kawasan Timur Tengah untuk menangkap ikan pada September 2019.
"Kami kepala dipukul, ditendang, disiksa. Tidur paling mentok cuma 3-4 jam." "Teman kami ada yang sakit dan tidak dirawat, tapi masih disuruh kerja, akhirnya meninggal. Lalu disimpan di freezer (tempat pendingin ikan) selama satu bulan. Setelah itu dibuang ke tengah laut.
"Katanya pertama dibilang pakai bahasa isyarat mau dibawa ke Singapura, tapi ternyata dibuang. Kami lihat pakai mata kepala sendiri. Kami menangis, sujud-sujud jangan dibuang. Tapi, kaptennya marah-marah dan tetap membuang teman kami," demikian pengakuan ABK ini.
"Melompat dari kapal"
Sejak kejadian itu, ia dan ketiga temannya mencoba tetap sehat dan bertahan.
Mereka tidak melawan saat perbudakan dilakukan.
Sampailah pada hari ketika kapal tiba di sekitar Selat Malaka.
Menyadari wilayahnya dekat dengan Indonesia, mereka mulai melawan anggota kapal yang mayoritas dari China, sekitar 15 orang.
"Melawan kita, terjadi pertumpahan darah. Mereka mengeroyok dan kita kalah, bonyok-bonyok, sempat ada pukulan senjata tajam juga. Di situ kami berpikir untuk lompat," katanya.
Baca Juga: Jokowi Dinilai Lelet Tangani Corona, Penanganan Covid-19 Indonesia Terburuk Se-Asia Tenggara
Akhirnya sekitar pukul 02.00 pagi saat semua anggota kapal tertidur, mereka menggunakan gabus tempat menyimpan ikan dan terjun ke laut.
"Jam satu siang ditolong kapal muat batu bara milik Filipina. Lalu dibawa ke pihak Maritim Malaysia. Lalu ditanya-tanya dan dibawa ke Kedutaan Indonesia di Johor, Malaysia, tanggal 8 April," katanya.