Sosok.ID - Yuli Triyanto (26) adalah mantan anak buah kapal (ABK) pencari cumi-cumi di kapal berbendera China.
Menjadi pelaut dengan bayaran 300 USD atau sekitar Rp 4.800.000 per bulan itu tak membuat kehidupannya semakin sejahtera.
Bahkan uang hasil dari melaut selama dua tahun tersebut dikatakan Yuli telah habis tak tersisa.
Yuli pun buka suara mengenai kekejaman jadi ABK di kapal nelayan berbendera China tersebut.
Dirinya sesekali tersendat bersuara seperti menahan perasaan saat menceritakan kisah perjalanannya jadi nelayan.
Pria berusia 26 tahun tersebut adalah lulusan dari sebuah sekolah menengah perikanan di Demak pada tahun 2013 silam.
Memang dirinya telah terbiasa bekerja keras lantaran kondisi ekonomi kurang beruntung dari keluarganya.
Hal itulah yang membuatnya harus berpikir keras tentang masa depannya kelak dan jadi salah satu faktor Yuli memberanikan diri kerja di kapal China.
Dia pun mulai mendaftarkan diri setelah lulus sekolah ke penyalur tenaga kerja Indonesia di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.
Ditemani oleh rekan sebayanya yang juga sama-sama mendaftar jadi TKI, cerita hidup Yuli untuk meraih masa depan cerah dimulai.
"Kontrak saya dengan PT di Pemalang itu, tertera gaji 300 USD. Dibayarkan tiap tiga bulan sekali dikirimkan ke rumah," tutur Yuli di rumahnya, RT 3 RW 4, Dukuh Karangturi, Desa Karangrejo, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Rabu (13/5/2020), dikutip dari Kompas.com.
Ternyata apa yang dijanjikan di awal kerja mengenai gaji tersebut tidaklah sesuai perkiraan Yuli.
Dari upah yang seharusnya sekitar Rp 4.800.000 per bulan, keluarga di rumah hanya mendapatkan uang sekitar Rp 1.500.000.
Saat minggu pertama berada di atas kapal, Yuli kaget dengan pekerjaan yang ia dapatkan lantaran tak ada keterangan yang pasti dari kantor penyalur TKI mengenai jenis pekerjaan maupun standar operasional prosedur (SOP) yang harus ia jalankan.
Kapal yang ia naiki adalah kapal golongan ukuran 2.000 gross ton.
Dirinya pun mengaku kesusahan saat berkomunikasi dengan rekan kerja yang berasal dari negara berbeda-beda tersebut.
"Awalnya pakai bahasa isyarat. Orang-orang China di atas kapal tempat saya bekerja itu tegas dan disiplin. Tanpa basa basi. Kerja dan kerja adalah keseharian mereka," ungkapnya dengan mimik serius.
Sebenarnya jika para ABK asal Indonesia sudah dibekali dengan petunjuk SOP, Yuli merasa perlakuan kasar mungkin bisa diminimalkan.
Berdasarkan pengamatan Yuli, pelaut asal Indonesia menjadi pekerja kelas terendah sebab tak berbekal SOP yang cukup sehingga tindakkannya kerap memancing emosi para pengambil kebijakan di kapal tersebut.
Berada di lautan lepas jauh dari tanah air, membentuknya menjadi pribadi tahan banting.
Dia mengaku kerap mendapat perlakuan yang keras dari ABK asal China.
"Mereka menyebut kami ABK asal Indonesia dengan panggilan laowei yang kira kira artinya orang rendahan," katanya.
Jika kinerja bagus, makanan dan perlakuan juga mengikuti.
Mereka yang kerap mendapat perlakuan tidak layak, biasanya karena kurang bisa membawa diri dalam bekerja di lautan dengan orang asing.
Tak hanya perlakuan buruk dari rekan kerja dan pemotongan gaji yang ia dapatkan saat jadi ABK.
Yuli juga mengaku bahwa dirinya tak menerima bonus yang telah dijanjikan oleh kapten kapal saat mencari cumi-cumi.
Ia dijanjikan mendapatkan bonus sekitar Rp 1.200.000 setiap ton cumi yang bisa ditangkap.
Kesengsaraan yang dialami oleh Yuli pun tak berakhir di situ saja.
Selama setahun penuh Yuli dan awak kapal asal Indonesia lainnya dilarang untuk memberi kabar pada keluarga di kampung halaman.
Bahkan keluarga di kampung sempat meyakini bahwa dirinya meninggal dunia di laut.
Walau ada Yuli dan ABK lain beragama muslim, makanan yang disajikan di kapal mayoritas daging babi.
Pengalaman pahit yang pernah dialami oleh Yuli tersebut membuatnya kini enggan untuk kembali melaut di kapal asing. (*)