Sosok.ID - Belum lama ini ada perdebatan mengenai salah satu Staff Khusus Milenial lantaran disebut-sebut gunakan fasilitas negara untuk pribadi.
Hal itu berkaitan dengan beredarnya surat dengan kop sekertariat negara di media sosial beberapa waktu lalu.
Diketahui dalam surat tersebut ada tertera nama dan tanda tanggan, Andi taufan Garuda Putra.
Andi Taufan diketahui saat ini sedang menjabat sebagai salah satu staff muda Presiden RI.
Baca Juga: Murka Jokowi: Jangan Ada Lagi yang Menganggap Kita Menutup-nutupi Data!
Surat tersebut berkaitan dengan perusahaan milik Andi, Amartha agar tak di tutup oleh otoritas setempat saat pandemi seperti sekarang.
Hal itu pun menuai protes dari berbagai pihak dan akhirnya Andi pun angkat bicara, serta mendapatkan peringatan tegas dari Presiden Joko Widodo.
Ternyata konflik kepentingan tersebut juga pernah dialami oleh salah satu anak dari Mantan Presiden Indonesia, Yenny Wahid.
Sosok yang sekarang menjabat sebagai Direktur Wahid Foundation tersebut sempat mengungkapkan bagaimana konflik kepentingan pernah dia alami pada tahun 2007 silam.
Saat itu Yenny Wahid diminta lansung oleh Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjadi staf khusus.
Yenny pun didapuk menjadi staf khusus bidang Komunikasi Politik pada 2006 silam.
Namun jabatan tersebut hanya berlangsung satu tahun lantaran putri Presiden keempat RI itu memilih mengundurkan diri.
Saudari dari Gubernur Jawa Timur ini membeberkan alasannya lebih memilih mundur dari jabatan staf khusus.
Ia pun beralasan bahwa pilihannya untuk undur diri dari jabatan orang dekat Presiden kala itu untuk menghindari konflik kepentingan yang akan menerjangnya.
Sebab saat itu dirinya selain menjabat sebagai stafsus Presiden, Yenny juga diketahui sebagai salah satu pengurus partai politik besar, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
"Saya keluar kan lebih karena waktu itu ada konflik kepentingan dengan partai. Saya masih diminta oleh Gus Dur untuk mengurus partai," kata Yenny dikutip dari Kompas.com, Senin (20/4/2020).
Di posisi tersebut, Yenny sempat bimbang lantaran harus memilih salah satu dari dua jabatan yang sama-sama menguntungkan tersebut.
Ia berpendapat bahwa ketika berada di pemerintahan, maka prioritas utama adalah kepentingan mengabdikan diri melalui jabatan yang telah diamanahkan.
Yenny khawatir, jika mengambil posisi sebagai pengurus partai tetapi juga menjabat sebagai staf khusus, ia tak dapat menjalankan amanah dan kepercayaan publik.
"Jadi saya putuskan daripada saya tidak bisa menjalankan mandat dan amanah, mencederai kepercayaan publik, maka saya putuskan untuk keluar," tuturnya.
Yenny juga bercerita bahwa selama berada di lingkungan istana, banyak godaan yang kerap kali muncul.
Apalagi, dirinya juga merupakan seorang putri mantan orang nomor satu Indonesia.
Godaan itu beragam bentuknya, mulai dari permintaan memuluskan proyek, hingga lobi permohonan proyek.
"Orang yang ingin dimuluskan proyeknya, ingin dapat proyek, itu banyak yang datang melobi," ujar dia.
Namun demikian, sebagai seorang yang telah diberi amanah jabatan, Yenny berpandangan bahwa ada nilai-nilai yang harus ia pegang.
Termasuk, nilai untuk menghindari konflik kepentingan dengan mengesampingkan keperluan pribadi.
Jika tidak, konflik kepentingan akan berakibat pada kolusi dan nepotisme, yang pada akhirnya menjadi perilaku koruptif.
"Kalau kita sudah berani mengambil jabatan itu berarti harus siap menanggung risikonya," ujar Yenny.
"Salah satu risikonya adalah siap berkorban. mengorbankan waktu tenaga, bahkan kepentingan bisnis pribadi haris dikesampingkan," ucap Yenny. (*)