Sosok.ID - Mencuatnya jet tempur generasi 4.5 Dassault Rafale sebagai kandidat penjaga ruang udara Indonesia di masa depan memang patut dipertimbangkan.
Penempur kenamaan dari Eropa yang setanding dengan Eurofighter Typhoon ini bahkan sudah mengecap predikat Battle Proven saat melakukan serangan terbatas di Libya pasca konflik kejatuhan Muammar Gaddafi.
Saat itu Rafale terbang dari atas kapal induk Charles de Gaulle untuk menggempur Tripoli dari udara.
Sebelum melakukan misi di Tripoli, debut tempur Rafale terjadi pada tahun 2002 dimana ia mendukung Operasi Enduring Freedom NATO di Afghanistan.
Kesuksesan misi ini lantas membuat India kepincut.
Mengutip dassault.aviation.com, Negeri Bollywood lantas menandatangani kontrak pengadaan jet tempur Rafale sebanyak 126 unit komplit dengan senjata, pelatihan serta perawatan senilai US$20 billion.
Selain India, penempur bersayap Delta ini juga digunakan oleh Mesir dan Qatar.
Indonesia saat kunjungan Menhan Prabowo Subianto ke Prancis berniat memboyong penempur ini ke tanah air.
Entah jika jadi dibeli nantinya apakah ada proses Transfer of Technology (ToT) dari Prancis.
Nah, sebenarnya memiliki Rafale bakal meningkatkan otot militer AU kita.
Namun jika dipertimbangkan lebih dalam ada problem serius yang bakal dialami Indonesia jika nekat membeli Rafale tanpa pikir panjang.
Problemnya ialah 'Logistic Nigthmare'
Seperti diketahui TNI AU memiliki segudang alutsista 'gado-gado' mulai dari T-50i dari Korea Selatan, Hawk 109/209 dari Inggris, F-16 dari Amerika Serikat dan Sukhoi Su-27/30 dari Rusia.

Untuk merawat pesawat-pesawat itu TNI AU memiliki Depo Pemeliharaan (Depohar) agar setiap unit pesawat dapat beroperasi dengan optimal.
Macam servis, pergantian spare part, turun mesin hingga Mid Life Upgrade (MLU) dilakukan oleh Depohar.
Bayangkan saja dengan tiga jenis jet tempur dari empat negara Depohar harus kerja keras agar setiap unit pesawat siap pakai untuk menjaga Bumi Pertiwi.
Dan ingat pembelian suku cadang pesawat tidak semudah yang kita bayangkan, harus pesan, antri dulu dan ongkos amat mahal.
Apalagi Sukhoi Su-27/30 TNI AU jika mengalami perbaikan berat maka harus diangkut dengan pesawat kargo menuju Belarusia untuk diperbaiki disana, keluar ongkos lebih mahal lagi.

Itu baru deretan jet tempur TNI AU, belum lagi pesawat lainnya macam C-130 Hercules, CN Series, helikopter hingga Boeing 737.
Ambil contoh Malaysia dimana jet tempur mereka juga gado-gado macam Su-30, MiG-29, F-18 Hornet dan Hawk 100/200.
Hanya 4 unit saja Su-30 Malaysia dari satu Skuadron yang bisa terbang, untuk MiG-29 mereka sudah menjadi 'mumi' karena Grounded semua lantaran tak mampu merawat akibat Logistic Nigthmare dan tak adanya biaya.
Penyederhanaan jenis pesawat tempur dirasa perlu agar tidak membingungkan dalam hal perawatan.
Maka sangat sangat harus dipertimbangkan pembelian Rafale oleh Indonesia karena kesiapsiagaan sebuah Skadron ialah tingkat Readiness unit alutsista mereka yang tinggi, bukan hanya kuantitas namun tak bisa optimal ketika dioperasikan. (Seto Aji/Sosok.ID)
KOMENTAR