Ini terbukti ketika mereka memulai bisnis bersama, yakni dengan membuka tempat pencucian mobil.
Meski sempat berjalan, namun akhirnya bisnis ini kandas karena mereka mengaku tidak dapat bersaing dengan pekerja asing yang dianggap lebih rajin.
Baca Juga: Kisah Pilu Budiyono, Pemulung yang Tinggal Di Bawah Flyover, Rela Tidak Makan Demi Hidupi Keluarga
Setelah itu, Chua dan Ng mendirikan kios bubble tea yang juga harus dijual ke rekan mereka setelah berjalan selama enam bulan.
Ng lulus pada 2009 dan kemudian bekerja di konsultan properti Knight Frank Singapore, sementara Chua bekerja di salah satu firma hukum terbesar di Singapura, Rajah & Tann.
Meski telah bekerja di tempat berbeda, keduanya masih bermimpi untuk membuka bisnisnya sendiri.
"Kami berencana masuk ke pengembangan properti, tetapi Anda tahu betapa mahalnya harga tanah di Singapura," kata Ng.
Ng menambahkan, untuk sekadar memiliki tanah saja, harga yang harus dibayar cukup besar, yakni sekitar 5 juta dollar Singapura atau Rp 45,5 miliar.
Harga ini belum termasuk biaya konstruksi.
Chua dan Ng kemudian bertemu dengan seorang teman dari Indonesia yang mengenalkan mereka dengan bisnis properti di negeri ini.
Dia mengatakan, harga tanah di Indonesia lebih murah.