Kenakan Pakaian Dalam, Sejumlah Emak-emak Berdemo Mengenai Kasus Pengembangan Wisata Danau Toba Rampas Tanah Rakyat, Ini Penjelasannya!

Minggu, 15 September 2019 | 07:00
Handout via Kompas.com

Kenakan Pakaian Dalam, Sejumlah Ibu-ibu Berdemo Mengenai Kasus Pengembangan Wisata Danau Toba Rampas Tanah Rakyat, Ini Penjelasannya!

Sosok.ID - Warga Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Tobasamosir ( Tobasa) menghadang alat besar yang masuk ke desanya, Kamis (12/9/2019).

Alat besar tersebut rencannya digunakan untuk membangun jalan dari The Nomadic Kaldera Toba Escape menuju Batusilali sepanjang 1.900 meter dan lebar 18 meter.

The Nomadic Kaldera Toba Escape adalah pengembangan potensi wisata Danau Toba yang menjadi proyek Badan Otorita Pariwisata Danau Toba (BOPDT).

Warga desa menuding proyek tersebut merampas tanah rakyat.

Alat berat tersebut dianggap menggilas tanah dan hutan mereka.

Baca Juga: Dendam Tak Dibelikan Pembalut oleh Suami, Seorang Istri di Kupang Tega Tebas Leher Anak Kembarnya Hingga Tewas

Aksi 100 warga desa tersebut didampingi Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Massa yang didominasi kaum ibu itu bahkan melakukan aksi buka baju.

Mereka histeris dan bentrokan antara warga dan aparat pun terjadi. Seorang staf KSPPM dipukul aparat dan luka di bagian mata.

Saat dikonfirmasi, Sekretaris Daerah Kabupaten Tobasa Audhi Murphy Sitorus mengatakan massa pendemo bukanlah warga Desa Sigapiton.

"Mereka mengklaim itu adalah lahannya walaupun mereka bukan penduduk setempat. Masyarakat setempat pun tidak senang dengan tindakan mereka. Mereka dari Desa Pardamean Sibisa tapi mengaku tanahnya di situ," kata Murphy.

Baca Juga: Alih-alih Mengubah Nasib, 31 Wanita Muda Malah Dilacurkan di Batam

Saat ditanya bagaimana tahu bahwa massa pendemo bukan warga Desa Sigapiton, Murphy menjawab sambil tertawa, "Saya kan pemerintah."

Ia mengatakan bahwa kepala desa sekitar tahu yang mana warganya.

Murphy mengklaim aksi protes tersebut hanya berjalan sekitar 10 menit dan massa langsung membubarkan diri.

Setelah kejadian tersebut, menurut Murphy, alat berat kembali bekerja sampai sore hari.

"Tidak ada masalah lagi, tadi sudah dikerjakan..." jelasnya.

Baca Juga: Ironi Pernikahan Anak di Bawah Umur, Gadis 10 Tahun Dipaksa Nikahi Sepupunya Sendiri

Sementara itu Direktur KSPPM Delima Silalahi saat dikonfirmasi Kompas.com lewat sambungan telepon membantah pernyataan Sekda Kabupaten Tobasa.

Ia mengatakan bahwa semua massa pendemo adalah masyarakat Sigapiton.

Delima juga mengatakan akan membawa kasus pemukulan staf KSPPM ke ranah hukum.

(Tigor Munthe/KOMPAS.com)

Masyarakat adat Sigapiton saat mengikuti dialog di Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Rabu (15/8/2018).

Ia juga mempertanyakan aparat yang melakukan pengawalan saat alat berat masuk ke desa.

Menurutnya pembangunan untuk kebaikan masyarakat seharusnya tidak perlu melibatkan aparat.

Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) Manambus Pasaribu mengecam tindakan represif yang dilakukan polisi dan Satpol PP kepada masyarakat adat Sigapiton.

Ia menilai BPODT telah melanggar prinsip-prinsip internasional yang tertuang dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat Internasional (UNDRIP) yang diadopsi PBB pada 13 September 2007.

Pada pasal 10-nya tegas menyatakan bahwa masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayahnya.

Baca Juga: Kesetiaan Leo, Anjing yang Tak Pernah Beranjak dari Pinggir Jalan Selama 4 Tahun Demi Menunggu Sang Pemilik Datang

Selain itu tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan ganti kerugian yang adil dan memuaskan, serta jika memungkinkan dengan pilihan untuk kembali lagi.

"Kami juga meminta pemerintah mengakui hak-hak masyarakat adat Sigapiton atas tanah adatnya," imbuhnya.

Dilansir dari Kompas.com, Direktur Utama Badan Otorita Pariwisata Danau Toba (BOPDT) Arie Prasetyo mengatakan, pihaknya telah melakukan penelaahan untuk hak-hak masyarakat yang ada di atas Lahan Zona Otorita Danau Toba, Sumatera Utara.

Penelaahan itu dilakukan oleh Tim Terpadu Penanggulangan Dampak Sosial Kemasyarakatan, yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Toba Samosir dengan melibatkan beberapa unsur.

Baca Juga: Jadi Sasaran Kebiadaban G30S/PKI, Istri AH Nasution : Itu yang Mau Membunuh Kamu Sudah Datang

“Salah satu tugas tim tersebut adalah melakukan pendataan, verifikasi, dan validasi tanaman tegakan milik masyarakat di atas lahan tersebut,” terang Arie dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Jumat (13/9/2019).

Menurutnya lahan berstatus hutan yang sebagian besarnya ditanami tanaman budidaya milik masyarakat, seperti kopi.

Proses penghitungan jumlah tanaman untuk lahan 279 hektar (ha) itu telah dilakukan dan saat ini sedang memasuki tahap penilaian oleh konsultan penilai publik.

Selain itu, BOPDT bersama Pemerintah Kabupaten Toba Samosir telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum dimulainya pembangunan.

Baca Juga: Miris! Gadis Berusia 10 Tahun Tak Sadar Sedang Dinikahkan Dengan Pria Berusia 22 Tahun Viral di Sosial Media

“Tadi pagi pukul 08.00 WIB bertempat di Kantor Kepala Desa Pardamean Sibisa, kami bersama Bupati, Camat Ajibata, dan Kepala Desa sudah bertemu dengan masyarakat pemilik tanaman yang terdampak pembangunan jalan ini,” imbuh dia.

Ia juga membenarkan aksi unjuk rasa yang terjadi pada Kamis (12/9/2019).

Lahan Zona Otorita Danau Toba memiliki luas 386,72 ha yang dialokasikan untuk pengembangan kawasan pariwisata dan 279 ha sudah diterbitkan hak pengelolaan lahannya (HPL).

Tahap awal dilakukan pembangunan akses ke jalan tersebut sepanjang 1.9 kilometer dengan alokasi anggaran dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Baca Juga: Pria Miskin Berusia 50 Tahun Asal Solo Rela Tempuh Jarak 276 Km Demi Kembalikan Dompet ke Pemiliknya, Hanya Berbekal Sepeda dan Jaket Lusuh

“Kami mulai pengerjaannya untuk membantu percepatan pengembangan destinasi super prioritas. Sejauh ini semua sudah dijalankan sesuai aturan,” papar Arie.

Ia menjelaskan lahan tersebut berstatus lahan negara yang sertifikat hak pengelolaannya diberikan kepada BOPDT.

Tahap awal pembangunannya diarahkan ke sekitar Desa Pardamean Sibisa, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. (*)

(Anissa Dea Widiarini, Mei Leandha)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Duduk Perkara Demo Ibu-ibu Buka Baju, Tuding Pengembangan Wisata Danau Toba Rampas Tanah Rakyat"

Editor : Andreas Chris Febrianto Nugroho

Sumber : Kompas.com

Baca Lainnya