Sosok.ID - Mantan Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irjen (Pol) Firli Bahuri, dengan segala kontroversi, akhirnya terpilih menjadi Ketua KPK periode 2019-2023.
Keputusan itu muncul setelah Komisi III DPR selesai menggelar fit and proper test dan kemudian dilanjutkan dalam penetapan Rapat Pleno Komisi III di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (13/9/2019) dini hari.
Sebanyak 56 anggota Komisi III yang mewakili seluruh fraksi ikut memberikan hak suaranya.
Selain itu, empat calon pimpinan KPK terpilih lainnya adalah calon petahana Alexander Marwata, serta tiga calon lain seperti hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar, Nawawi Pomolango; Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lili Pintouli Siregar; dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember), Nurul Ghufron.
Lantas, seperti apa profil dan sepak terjang Firli belakangan ini?
1. Profil
Pria kelahiran 7 November 1963 itu merupakan lulusan Akademi Kepolisian tahun 1990.
Firli melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 1997 dan Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespim) pada 2004.
Kapolda Sumatera Selatan ini pernah menjadi Kepala Satuan III Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Pria yang lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan itu juga sempat menjabat Kapolres di Kebumen dan Brebes.
Pada 2009, Firli ditugaskan menjadi Wakapolres Metro Jakarta Pusat.
Baca Juga: Sedang Rayakan Ultah, Ibu Muda Ini Tewas 'Dibunuh' oleh Bayinya Sendiri yang Masih Berusia 2 Tahun
Setahun kemudian, ia diangkat menjadi asisten sekretaris presiden.
Selanjutnya, pada 2012, Firli ditugaskan menjadi ajudan Wakil Presiden.
Saat itu, Firli menjadi ajudan Boediono. Firli pernah dilantik sebagai Wakapolda Banten pada 2014, kemudian menjadi Wakapolda Jawa Tengah pada 2016.
2. Pernah jadi Deputi Penindakan KPK
Catatan Kompas.com, 6 April 2018, Firli dilantik sebagai Deputi Penindakan KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Baca Juga: Helmus Schimdt, Sosok Guru Politik Habibie Dalam Hal Demokrasi Hingga Membawanya Menjadi Presiden RI
Ketua KPK Agus Rahardjo, saat itu, menyebutkan, ada 7 calon dari Kejaksaan dan tiga dari Polri.
Dari semua calon itu, hanya Firli yang berhasil lolos dalam tes kesehatan, tes kompetensi, dan tes wawancara.
Saat itu Agus mengatakan, jabatan deputi sebenarnya tidak selalu harus dari institusi Polri dan Kejaksaan.
Namun, kedua institusi tersebut dinilai memiliki jaringan yang luas di daerah sehingga koordinasi dengan aparat penegak hukum dapat lebih mudah dilakukan.
"Deputi penindakan harus melakukan koordinasi supervisi aparat penegak hukum seluruh Indonesia. Jaksa dan polisi yang punya jaringan lebih baik," kata Agus saat itu.
Baca Juga: Kisah Roman Sosa, Pria yang Hendak Dibunuh Sang Istri Lantaran Usahanya Bangkrut
Namun seiring perjalanannya, Firli ditarik oleh Polri dan dipromosikan sebagai Kapolda Sumatera Selatan.
3. Kontroversi, petisi pegawai hingga pelanggaran etik
Selama menjabat dalam salah satu posisi strategis di KPK, sosok Firli diiringi sejumlah kontroversi.
Catatan Kompas.com, 10 April 2018 silam, telah muncul sebuah petisi yang mengatasnamakan Pegawai KPK ditujukan kepada Pimpinan KPK soal adanya potensi hambatan dalam penanganan kasus.
Petisi itu berjudul, "Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus".
Petisi itu menjelaskan, belakangan ini jajaran di Kedeputian Penindakan KPK mengalami kebuntuan untuk mengurai dan mengembangkan perkara sampai ke tingkat pejabat yang lebih tinggi, kejahatan korporasi, maupun ke tingkatan tindak pidana pencucian uang.
Baca Juga: Karya Jenius BJ Habibie, Temuannya Sampai Dipakai NASA untuk Penjelajahan Luar Angkasa
Petisi itu mengungkap 5 poin, yaitu terhambatnya penanganan perkara pada ekspose tingkat kedeputian; tingginya tingkat kebocoran dalam pelaksanaan penyelidikan tertutup; dan tidak disetujuinya pemanggilan dan perlakuan khusus terhadap saksi.
Kemudian, tidak disetujui penggeledahan pada lokasi tertentu dan pencekalan; dan adanya pembiaran atas dugaan pelanggaran berat di dalam kedeputian penindakan.
Tak hanya soal petisi, Firli terungkap terjerat masalah pelanggaran kode etik.
Pada awalnya, isu yang mengerucut dalam pelanggaran kode etik ini adalah menyangkut pertemuan Firli dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB).
Pertemuan itu dianggap bermasalah, lantaran saat itu KPK berupaya melakukan penyelidikan dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.
Seiring perkembangannya, 19 April 2018, TGB pernah mengklarifikasi pertemuan tersebut yang pada intinya menyampaikan, pertemuannya dengan Firli tidak disengaja.
Ia menuturkan kehadirannya sebatas memenuhi undangan dari salah satu pihak di komando resor militer di NTB.
Saat itu lah, TGB mengaku sudah melihat Firli sedang bermain tenis.
Menurut TGB, pertemuan itu dilakukan sebelum pihak KPK meminta keterangannya terkait divestasi saham.
Baca Juga: Google Map Temukan Pria yang Telah Menghilang Selama 22 Tahun, Ternyata Begini Nasibnya
Di sisi lain, pada Selasa (27/8/2019) saat uji publik dan wawancara calon pimpinan KPK, Firli mengklaim tidak melanggar kode etik selama menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
Ia juga membantah merencanakan pertemuan dengan TGB yang saat itu sedang menjadi saksi atas kasus dugaan korupsi yang sedang ditangani KPK.
4. Dianggap melanggar etik
Belakangan, KPK dalam konferensi pers, Rabu (11/9/2019) menyatakan, Firli melakukan pelanggaran hukum berat berdasarkan kesimpulan musyawarah Dewan Pertimbangan Pegawai KPK.
Tak hanya karena bertemu TGB saat bermain tenis, Firli juga pernah bertemu TGB dalam acara Harlah GP Ansor ke-84 dan launching penanaman jagung 100.000 hektar di Bonder Lombok Tengah.
Dalam pertemuan itu Firli dan TGB dinilai mampu berbincang secara akrab. Menurut paparan penasihat KPK, Tsani Annafari, Firli terbang ke NTB dengan uang pribadi tanpa izin surat tugas yang diteken KPK.
Tsani menjelaskan, Firli tidak menunjukkan upaya untuk menghindar dari pertemuan tersebut.
Penetapan Firli sebagai pelanggar etik juga berdasarkan peristiwa Firli menjemput langsung seorang saksi yang hendak diperiksa di lobi KPK pada 8 Agustus 2018.
KPK juga mencatat, Firli pernah bertemu dengan petinggi partai politik di sebuah hotel di Jakarta pada 1 November 2018.
Atas hal itu, KPK mengirimkan surat ke DPR pada Rabu kemarin.
Surat dikirim berkaitan dengan status Firli sebagai calon pimpinan KPK yang tengah mengikuti fit and proper test.
Namun akhirnya, surat itu justru dipertanyakan dan dikritik anggota Komisi III DPR.
Firli pun tetap mendapat suara terbanyak dan terpilih sebagai Ketua KPK.
5. Ditolak pegawai KPK dan koalisi masyarakat sipil
Seiring perjalanan Firli melamar menjadi calon pimpinan KPK, langkahnya mendapat sorotan dari pegawai KPK dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Capim KPK.
Menurut pegiat antikorupsi Saor Siagian, Rabu (28/8/2019), sebagian besar pegawai KPK telah menandatangani penolakan calon pimpinan KPK Irjen Firli untuk menjadi pimpinan KPK peridoe 2019-2023.
Penolakan itu berasal dari penyidik dan pegawai lainnya yang merasa gelisah karena Firli pernah melanggar kode etik saat menjabat sebagai Direktur Penindakan KPK dan tidak mengakuinya.
Di sisi lain, masalah itu yang juga menjadi sorotan koalisi masyarakat sipil.
Mereka selalu mengkritik dan mempertanyakan alasan Panitia Seleksi terus meloloskan Firli di setiap tahapan.
Koalisi juga menyesalkan ketika nama Firli termasuk satu dari 10 nama yang diserahkan Presiden Joko Widodo ke DPR.
Seiring waktu, baik pegawai KPK dan koalisi kerapkali menggelar aksi penolakan terhadap calon pimpinan bermasalah dan revisi Undang-undang tentang KPK.
Salah satu yang digaungkan dalam aksi itu adalah mereka tidak ingin lembaga antirasuah ini dipimpin oleh orang yang pernah melanggar etik.
Mereka khawatir, apabila KPK dipimpin oleh orang bermasalah ditambah revisi UU KPK yang terkesan melemahkan, akan membuat kinerja pemberantasan korupsi KPK lumpuh.
Bahkan, mereka bisa menyebutkan KPK akan mati.
6.Keinginan Firli soal KPK ke Depan
Pada sesi fit and proper test di Komisi III DPR, Firli menilai KPK sebagai lembaga negara seharusnya bertanggung jawab pada kepala negara.
Ia merujuk pada Pasal 21 Ayat 5 dalam UU KPK yang menyatakan, pimpinan KPK adalah pejabat negara.
Menurut Firli, harus ada penataan penguatan KPK pada sistem ketatanegaraan.
Hal ini terkait dengan banyaknya kritik yang dilontarkan terhadap KPK.
Lembaga antirasuah itu dinilai kurang dapat berkoordinasi dengan aparat penegah hukum lainnya.
Firli menegaskan, berdasarkan UU KPK, sebagai pejabat negara, pimpinan KPK harus mampu melakukan koordinasi, supervisi, monitoring dan kerja saa dengan seluruh kementerian atau lembaga.
Kini, Jumat dini hari, Firli bersama Alexander, Lili, Nawawi dan Nurul telah terpilih sebagai pimpinan KPK 2019-2023.
Seperti apa kinerja KPK di bawah kepemimpinan mereka ke depan? Waktu lah yang akan menjawabnya. (*)
( Dylan Aprialdo Rachman )
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Firli Bahuri, Kontroversi, Petisi hingga Penolakan Pegawai KPK"