Tak lama kemudian wanita kelahiran 12 Juli 1916 itu jatuh cinta pada olahraga menembak dan bergabung dengan klub tembak.
Singkat cerita Pavlichenko lalu mendapat lencana sniper serta sertifikat penembak jitu, dan saat kuliah di Universitas Kiev ia mengembangkan keterampilannya lagi dengan masuk ke akademi sniper.
Menurut catatan Sky History, ketika Hitler melancarkan Operasi Barbarossa pada Juni 1941, Pavlichenko yang kala itu berusia 24 tahun berlari ke kantor perekrutan di Odesa, Ukraina.
Awalnya petugas perekrut menyuruhnya untuk jadi perawat saja, tetapi petugas laki-laki itu langsung berubah pikiran usai Pavlichenko menunjukkan sertifikat dan lencana sniper-nya.
Pavlichenko kemudian terdaftar di Divisi Senapan ke-25 Red Army sebagai sniper.
Secara total ada 2.000-an wanita menjadi sniper di Red Army selama Perang Dunia II, dan hanya sekitar 500 yang berhasil bertahan hidup.
Dengan minimnya amunisi dan logistik, Pavlichenko awalnya hanya bertempur tanpa senapan dan hanya memegang granat.
"Sangat frustrasi harus mengamati jalannya peperangan hanya dengan satu granat di satu tangan," tulisnya dalam memoar yang dikutip Sky History.
Hingga akhirnya, seorang kawan yang tertembak memberikan senapan Mosin-Nagant miliknya.
Segera setelahnya Pavlichenko membuka "rekening jumlah korban"-nya.
Aksi di medan perang