"Kami menilai, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman menyetujui operasi di Istanbul, Turki, untuk menangkap atau membunuh jurnalis Jamal Khashoggi," kata Kantor Direktur Intelijen Nasional AS dalam laporannya, seperti dikutipReuters.
Badan intelijen AS mendasarkan penilaiannya pada kendali Putra Mahkota atas pengambilan keputusan, keterlibatan langsung salah satu penasihat utamanya, dan detail perlindungannya sendiri.
Serta, "Dukungannya untuk menggunakan tindakan kekerasan guna membungkam para pembangkang di luar negeri, termasuk Khashoggi," Kantor Direktur Intelijen Nasional AS dalam laporannya.
Namun, Biden mengambil langkah tipis untuk mempertahankan hubungan dengan Arab Saudi, saat ia berusaha menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 dengan Iran dan untuk mengatasi tantangan lain termasuk memerangi ekstremisme Islam serta memajukan hubungan Arab-Israel.
Dalam mengumumkan keputusan untuk melarang masuknya 76 warga negara Arab Saudi di bawah kebijakan baru yang disebut "Larangan Khashoggi," Departemen Luar Negeri AS menyatakan, tidak akan mentolerir mereka yang mengancam atau menyerang aktivis, pembangkang, dan jurnalis atas nama pemerintah asing.
Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi kepada Ahmed Hassan Mohammed al-Asiri, mantan Wakil Kepala Kepresidenan Intelijen Umum Arab Saudi, dan Pasukan Intervensi Cepat (RIF) Arab Saudi sehubungan dengan pembunuhan Khashoggi.
Departemen Keuangan AS menuduh Asiri sebagai biang keladi operasi Khashoggi dan mengatakan, beberapa anggota regu pembunuh yang dikirim untuk mencegat jurnalis itu adalah bagian dari RIF, bagian dari Pengawal Kerajaan Arab Saudi yang hanya bertanggung jawab kepada Putra Mahkota.
Laporan intelijen AS menilai, anggota pasukan tidak akan berpartisipasi dalam operasi tersebut tanpa persetujuan dari Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi.
Karena operasi ini butuh izin otoritas tertinggi Riyadh.(*)