Terlebih lagi, jika kekuatan dunia memutuskan untuk menjatuhkan sanksi keras, hal itu dapat merugikan ekonomi Burma yang sedang berusaha pulih dari guncangan pandemi.
Postur militer dapat semakin mengisolasi aktor komersial asing, kecuali mungkin orang China yang melihat keuntungan strategis dari hubungan ekonominya dengan Myanmar yang berpusat pada proyek infrastruktur yang dipimpin oleh Beijing yang merupakan bagian dari Belt and Road Initiative China yang lebih besar.
Kemarahan publik dapat meletus kapan saja, dalam bentuk kekerasan.
Krisis saat ini juga berpotensi meningkat menjadi protes yang lebih luas di seluruh negeri dalam beberapa hari mendatang.
Karena tentara melonggarkan pembatasan, membuat penyelesaian yang dinegosiasikan antara para pemimpin sipil dan militer semakin terjerat.
Semua ini dapat mendorong transisi demokrasi Myanmar ke medan yang tidak nyaman. (*)