Namun saat meninggalkan ketinggian jelajah untuk turun ke bandara Adisutjipto, di atas wilayah Rembang, kapten penerbangan memutuskan untuk sedikit menyimpang dari rute seharusnya, atas izin ATC.
Hal itu dilakukan karena di depan terdapat awan yang mengandung hujan dan petir.
Baca Juga: Pesawat Indonesia Sering Jatuh Jadi Sorotan Media Asing, PernahDilarang Terbang ke AS dan Uni Eropa
Kru pesawat mencoba untuk terbang di antara dua sel awan badai.
Sekitar 90 detik setelah memasuki awan yang berisi hujan, saat pesawat turun ke ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi mesin dalam posisi idle, kedua mesin tiba-tiba mati dan kehilangan daya dorong (thrust).
Pilot dan kopilot pun saat itu mencoba untuk menghidupkan unit daya cadangan (auxiliary power unit/APU) untuk membantu menyalakan mesin utama, tetapi tidak berhasil.
Penyelidikan yang dilakukan menyebut bahwa kru kokpit mencoba menyalakan mesin dengan interval setiap satu menit.
Manual B737 yang dikeluarkan Boeing menyebut APU mesti dinyalakan dalam interval 3 menit sekali.
Ketika pesawat sampai di ketinggian 8.000 kaki, dan kedua mesin belum berhasil di-restart, pilot melihat alur anak sungai Bengawan Solo dan memutuskan untuk melakukan pendaratan di sana.
Pesawat pun melakukan ditching tanpa mengeluarkan roda pendaratan maupun flaps (menjulurkan sayap).
Saran untuk industri mesin pesawat Penyelidikan yang dilakukan oleh KNKT menyimpulkan bahwa pelatihan yang diberikan maskapai Garuda Indonesia kepada pilot-pilotnya dalam hal interpretasi radar cuaca tidak sebagaimana mestinya dilakukan, hanya diberikan secara tidak formal.