Dengan kondisi senapan AK-47-nya tanpa peluru yang jelas sama sekali tidak berguna jika harus menghadapi warga suku terasing yang terus memandanginya secara curiga sambil mengacungkan semua senjata tradisional itu.
Tiba-tiba Sintong melihat jika majalah tempat peluru yang jatuh berada di antara warga suku.
Bahkan sedang ditendang-tendang oleh seorang pemuda yang merasa bingung dengan benda asing itu.
Di luar dugaan pemuda itu mengambil majalah dan memberikannya kepada Sintong.
Sebuah pertanda bahwa warga suku itu ingin bersahabat.
Sintong akhirnya membiarkan saja ketika sejumlah warga suku menyentuhnya, lalu memeganginya, untuk memastikan bahwa 'manusia burung' yang jatuh dari langit itu masih hidup dan merupakan manusia seperti mereka.
Meski diliputi oleh perasaan was-was dan awalnya merasa akan diserang dan 'dimakan' semua tim ekspedisi ternyata secara bersahabat.
Bahkan akhirnya mereka bisa diatur secara normal dengan suku terasing itu.
Sebagai suku terasing dan menggunakan bahasa yang saat itu tidak bisa diimplementasikan, semua anggota tim ekspedisi pun harus belajar keras memahami bahasa setempat dengan cara mencatatnya.
Warga lembah X juga masih menjalankan tunggang langgang setiap ada pesawat yang lewat atau melaksanakan dropping logistik karena ada dugaan sebagai burung raksasa yang akan menyambarnya.
Semua warga suku yang tidak takut akan air dan tidak pernah mandi dan mengandalkan mereka yang mengandalkan tanaman tebu liar.