Sosok.ID - 17 Agustus adalah tanggal bersejarah bagi negara kepulauan terbesar di bagian Tenggara Asia.
Bangsa yang terbentang dari belasan ribu pulau yang tersambung menjadi satu kesatuan di bawah naungan kedaulatan yang sama.
Republik Indonesia lahir pada tanggal 17 Agustus 1945, tapi apakah penulisan tahun di teks proklamasi juga demikian?
Ternyata tidak, dalam teks proklamasi yang ditulis oleh tangan Ir. Soekarno sendiri, penulisan tanggal tersebut agaknya berbeda dengan sekarang.
Presiden pertama Republik Indonesia menuliskan tanggal proklamasi kemerdekaan yakni "Jakarta, 17-8-05'".
Namun di selembar kertas yang diketik menggunakan mesin ketik oleh Sayuti Melik, penulisan tanggal dirubahnya.
Sayuti Melik merubah penulisan tanggal yang berbeda seperti apa yang ditulis oleh Bung Karno, yakni "hari 17 bulan 8 tahun 05'".
Ternyata penulisan tahun tersebut adalah penulisan tahun sesuai dengan penanggalan Jepang, bukan masehi seperti yang digunakan saat ini.
Tahun 05' adalah merujuk pada tahun Jepang yakni 2605 atau setara dengan tahun 1945 masehi.
Hal itu yang menjadi salah satu keraguan sekutu termasuk Belanda yang mendompleng kedatangan sekutu di Indonesia kala itu.
Bahkan ada salah satu tokoh utama dalam perumusan teks Proklamasi Kemerdekaan yang ditahan hingga disiksa demi mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia tidak sah.
Sosok tersebut bahkan harus ditahan dan disiksa serta dipaksa untuk mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang dengan bukti penulisan tahun di teks proklamasi tersebut.
Namun meski mendapat siksaan hingga kencing darah, sosok yang juga menjadi tokoh utama malam sebelum pembacaan proklamasi kemerdekaan itu tetap diam.
Sosok tersebut adalah Laksamana Maeda.
Mungkin nama tersebut sudah tak asing bagi kita, karena selalu ada di buku sejarah tingkat sekolah dasar (SD).
Namun ternyata sosok warga negara Jepang ini bukan sembarangan.
Bahkan ia penuh mendukung kemerdekaan Indonesia tanpa menghiraukan anjuran dari kaisar Jepang.
Melansir dari Kompas.com dari wawancara dengan kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jaka Perbawa, sosok ini memang harus diperhitungkan dalam kancah perjuangan Republik Indonesia.
Seorang perwira angkatan laut Jepang yang rela disiksa demi melindungi kemerdekaan Indonesia secara utuh kala itu.
Sosok yang bersedia meminjamkan rumahnya sebagai tempat untuk merumuskan teks proklamasi.
Hingga sosok yang menyediakan peralatan untuk menyiapkan teks proklamasi salah satunya mesin ketik.
Dalam buku berjudul Kaigun Angkatan Laut Jepang: Penentu Krisis Proklamasi yang ditulis oleh WP Suhartono yang diterbitkan tahun 2007 menerangkan bagaimana perjuangan Maeda untuk mendukung kemerdekaan Indonesia secara pribadi.
Maeda memang memiliki jalinan persahabatan dengan tokoh-tokoh kemerdekaan sangat kuat, salah satunya adalah Achmad Soebardjo pada masa sebelum kemerdekaan.
Jalinan Laksamana Maeda dengan Achmad Soebardjo dan tokoh-tokoh nasionalis lainnya membuahkan pembentukan Asrama Indonesia Merdeka di kawasan Kebon Sirih, Jakarta.
"Acmad Soebardjo lah yang menjadi kepercayaannya Maeda dengan membentuk Asrama Indonesia Merdeka di Kebon Sirih. Bung Karno pun mengajar di sana, Iwa Kusumasumantri mengajar di sana," kata Jaka Perbawa.
Laksamana Maeda harus menanggung konsekuensi berat setelah mengizinkan rumahnya sebagai tempat perumusan naskah proklamasi.
Saat Inggris datang pada September 1945, Maeda dan stafnya, Shigetada Nishijima, ditangkap dan dimasukkan ke penjara Glodok dan rutan Salemba.
Dalam wawancara dengan Basyral Hamidy Harahap yang dituangkan dalam buku berjudul, Kisah Istimewa Bung Karno, Nishijima membeberkan kisahnya di dalam penjara dengan Maeda.
Dia dipaksa mengaku oleh Belanda untuk mencap Republik Indonesia merupakan bikinan Jepang.
Sebab dalam tanggal naskah proklamasi tertulis '05 berdasarkan tahun Jepang, bukan '45.
Nishijima mengatakan, walau dirinya disiksa sampai buang air kecil berdarah, dia tetap tidak mengaku.
Setelah dipulangkan ke Jepang, Maeda mengundurkan diri dari angkatan laut Jepang menjadi rakyat biasa, tidak memiliki tunjangan pensiun.
Namun, Jaka Perbawa dari Museum Perumusan Naskah Proklamasi menengarai bahwa generasi ketiga tahun 2000-an kemungkinan memposisikan Maeda sebagai sosok yang layak diperhitungkan dalam percaturan pasca Perang Dunia II.
"Ini dibuktikan dengan beberapa kali kurang lebih dua sampai tiga kali taruna-taruna angkatan laut Jepang merapat dengan kapal di Tanjung Priuk dan datang ke museum ini khusus untuk mencari tahu di mana Maeda tinggal," tutur Jaka.
Pada 17 Agustus 1977, Maeda diundang pemerintah Indonesia untuk menerima tanda kehormatan Bintang Jasa Nararya. (*)