Sosok.ID - Dieng kini sedang dilanda embun es yang sempat viral gambar dan videonya berterbaran di media sosial.
Di sebuah dataran tinggi yang terletak di tengah Provinsi Jawa Tengah tersebut memang dikenal sebagai kawasan wisata yang menarik dikunjungi.
Bahkan di musim kemarau seperti ini, banyak peristiwa seperti embun es terjadi di sana hingga menarik wisatawan untuk datang.
Namun ternyata diem menyimpan banyak misteri termasuk salah satunya sosok yang dikenal dengan nama Mbah Fanani.
September 2017 lalu adalah puncak musim kering di dataran tinggi Dieng.
Dua hari berturut-turut, tanggal 1 dan 2 September 2017, Desa Dieng Kulon, Batur diterpa suhu dingin ekstrem.
Kumpulan titik air merupa kabut mengapung di atmosfer.
Penduduk desa lebih banyak memilih berdiam di dalam rumah sambil menghangatkan badan di depan tungku api yang menyala.
Mereka sama menebalkan pakaian hingga beberapa lapis untuk menahan dingin.
Suhu ekstrem kala itu benar-benar membuat otot menggigil, gigi gemelutuk hingga rambut berdiri atau merinding.

Embun es atau Bun upas di Candi Arjuna, Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah.
Warga setempat menyebutnya embun upas atau embun beracun.
Banyak tanaman petani yang sekarat hingga mati karena membeku.
Dalam kondisi ekstrem demikian, Kepala Desa Dieng Kulon Batur Slamet Budiono sempat mencemaskan keadaan Mbah Fanani.
Seorang pria tua yang tak pernah beranjak dari tempat duduknya di pinggir jalan raya sejak puluhan tahun silam.
Slamet memutuskan menengok tenda Mbah Fanani untuk memastikan kondisi kakek berumur seabad lebih itu baik-baik saja.
Bagaimanapun, kata Slamet, Mbah Fanani telah dianggap bagian dari warga Dieng Kulon karena lama menetap di desa.
Bukan rumah tembok atau papan kayu yang menjadi pelindung Mbah Fanani dari dinginnya udara.
Sebuah tenda kain berukuran sekitar 2 x 3 meter telah berdiri puluhan tahun di pinggir jalan raya Dieng, depan rumah warga, Sugiono.
Tenda ala kadarnya itu didirikan warga untuk orang yang selalu membisu dan tak pernah bergeser dari tempatnya bertapa.
Hawa dingin mudah menyelinap masuk ke celah tenda yang telah lapuk termakan usia tersebut.
"Saya ingin memastikan saja keadaan Mbah Fanani dalam kondisi sehat, karena suhu saat itu sangat ekstrem di bawah nol derajat," katanya, Jumat (8/9).
Baca Juga: Inilah Wujud 5 Tempat yang Diklaim Mampu Selamatkan Manusia dari Kiamat, Salah Satunya di China

MISTERI Mbah Fanani Terkuak, Petapa Gunung Dieng itu Diduga Berada di Indramayu
Slamet ternyata menyaksikan keajaiban yang sulit dicerna akal.
Suhu beku di luar seolah tak mempengaruhi keadaan sang pertapa.
Mbah Fanani masih khusyuk bertapa.
Ia terlihat tetap bugar dan tak menunjukkan tanda kedinginan.
Padahal tak ada sarana penghangat di dalam tenda.
Mbah Fanani bahkan tetap bertelanjang dada.
Ia hanya menutupi sebagian tubuhnya dengan sarung hitam.
"Setelah saya lihat kondisinya, dia baik saja,"katanya.
Baca Juga: Beijing Bercanda? F-22 Raptor Amerika Bakal Kewalahan Hadapi J-20 China
Ketahanan tubuh Mbah Fanani menghadapi serangan cuaca ekstrem tak lagi disangsikan oleh penduduk gunung Dieng.
Itu hanya satu di antara keanehan pada diri Mbah Fanani yang tersaksikan.
Saat penduduk asli Dieng sama berlindung di balik pakaian tebal berlapis untuk melawan suhu ekstrem, Mbah Fanani justru mengumbar setengah badannya dan hanya berselimut sarung.
Slamet bahkan mengaku belum pernah melihat Mbah Fanani mengeluhkan sakit berarti.
Padahal setiap tahun selama puluhan tahun diterpa suhu ekstrem.
"Mbah Fanani itu orang luar biasa karena kuat menahan hawa dingin yang ekstrem di musim kemarau," pujinya.
Biodata Mbah Fanani
Mbah Fanani dikenal sebagai seorang pertapa dan tak ada yang tahu kapan ia akan mengakhiri laku yang dijalani.
Bahkan, sang petapa sendiri, Mbah Fanani mengaku tidak mengetahui kapan ia akan mengakhiri masa tugasnya di Gunung Dieng.

Tenda Mbah Fanani di Jalan Raya Dieng Kulon Batur Banjarnegara.
Ia baru akan mengakhiri pertapaannya di Dieng setelah memperoleh petunjuk atau ilham.
Sebagaimana ia mengawali menjalankan tugas tersebut, puluhan tahun silam.
Karena Mbah Fanani tidak bisa diajak komunikasi, sebagian masyarakat berspekulasi dan memunculkan mitos perihal pertapaannya.
Cerita yang berkembang di masyarakat, Mbah Fanani akan mengakhiri pertapaannya bersamaan ketika Dieng tenggelam.
Ia akan pulang dari pertapaannya menaiki perahu.
Tentu saja mitos itu tidak benar dan dibantah oleh Eyang Fanani.
Mbah Fanani menjelaskan masa pertapaannya berakhir sambil memberi isyarat dengan merapatkan jari-jari tangan.
Lalu menggerakkannya naik turun.
Maksud isyarat tersebut, kata Veti, ada tahapan-tahapan dalam laku tapa Mbah Fanani.
"Ada orang yang salah mengartikan, isyarat itu dipahami menyerupai gerakan perahu. Sehingga ceritanya dilebihkan Mbah Fanani akan pulang pakai perahu," katanya.
Masa tapa yang telah dijalani Mbah Fanani rupanya lebih lama dari yang disebut selama ini.
Mbah Fanani yang kini berusia sekitar 107 tahun memulai laku tapa saat putrinya, Nyai Maryam, masih berada di dalam kandungan.
Mbah Fanani yang dulu dikenal sebagai Kyai Ahmad Fanani meninggalkan kediaman dan pesantren yang diasuhnya di Jatisari Cirebon setelah mendapatkan petunjuk untuk melakukan uzlah atau tafakur (tapa).
Ia bertapa berpindah-pindah tempat di beberapa wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Terakhir, Mbah Fanani bertapa di Gunung Dieng, tepatnya di pinggir jalan raya Dieng Kulon, Batur Banjarnegara, di depan rumah Sugiyono.
Tidak ada yang tahu alasan Mbah Fanani memilih lokasi itu sebagai tempat semedinya.
Sugiyono bersama istrinya setia dan ikhlas memberi makan Mbah Fanani, meski mereka tidak pernah berkomunikasi.
Keikhlasan keluarga Sugiyono merawat Mbah Fanani terlihat dari keterbukaannya terhadap setiap orang hendak berkunjung ke tenda Mbah Fanani.
Ia tidak pernah memberi syarat pada setiap tamu yang datang untuk menengok Mbah Fanani.
"Pak Ono ikhlas memberi makan setiap hari. Warga Dieng juga bersikap wajar. Tidak ada yang berusaha memanfaatkan Mbah Fanani untuk kepentingan duniawi dan politik di sini. Sehingga Mbah Fanani bisa tenang dan fokus menjalankan tugas di sini," kata Veti.
Mbah Fanani tak bergeming, saat beberapa tamu mengunjunginya dan berusaha menyapa.
Ia hanya menyambut dengan tatapan tajam.
Mbah Fanani tetap khusyuk duduk di dalam tenda berukuran 1,5 x 2 meter.
Sesekali ia menggeser pinggul dan menata sarung yang menutupi badannya.
Udara dingin Dieng yang menyeruak tak membuatnya gigil.
Pria yang lebih dari 20 tahun bertapa di Gunung Dieng itu enggan berujar.
Kecuali terhadap orang tertentu yang dikehendakinya. (tribunjateng/khoirul muzakki)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul "Di Suhu Dieng yang Ekstrim dan Tertutup Embun Es, Keajaiban Pernah Dibuat Mbah Fanani, Ini Kisahnya"