Sosok.ID - 21 Mei 1998, dicatat sebagai hari bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Pada Kamis pagi, 22 tahun silam, Presiden kedua Republik Indonesia berdiri di hadapan sejumlah pejabat negara.
Soeharto menatap selembaran kertas di tangannya.
Sementara BJ Habibie, Ketua MPR/DPR Harmoko, dan para petinggi Indonesia berdiri mendampinginya.
Sekitar pukul 09.00 WIB di Istana Merdeka, Soeharto berpidato untuk kali terakhir sebagai pemimpin bangsa.
Melansir arsip Kompas, 21 Mei juga tercatat sebagai momen peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Bacharuddin Jusuf Habibie.
Hal ini sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, Habibie melanjutkan sisa waktu jabatan presiden sekaligus Mandataris MPR 1998-2003.
Diketahui, Soeharto telah memimpin Indonesia selama 32 tahun.
"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," ujar Soeharto dikutip dari dokumentasi Kompas.
Dalam pidatonya, Penguasa Orde Baru ini meminta maaf kepada bangsa Indonesia.
Ia juga tak lupa mengucapkan terima kasih atas dukungan rakyat Indonesia kepadanya.
"Saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangan. Semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945," katanya.
Saat Habibie usai menyampaikan sumpah kepresidenan, Soeharto tampak menjabat tangan suami Ainun.
Habibie kemudian meminta dukungan rakyat dalam pidatonya di Istana Negara pada 21 Mei 1998 malam.
"Saya mengharapkan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama dapat keluar dari krisis yang sedang kita hadapi, yang hampir melumpuhkan berbagai sendi-sendi kehidupan bangsa," katanya.
Bapak Teknologi Indonesia itu menyoroti aksi mahasiswa yang berhasil menduduki gedung DPR/MPR.
Menurutnya, perjuangan mahasiswa mempercepat reformasi menuju perbaikan abad 21.
"Saya memperhatikan dengan sungguh-sungguh dinamika aspirasi yang berkembang dalam pelaksanaan reformasi secara menyeluruh, baik yang disampaikan oleh mahasiswa dan kaum cendekiawan, maupun yang berkembang dalam masyarakat serta di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat," tuturnya.
Habibie lah yang mengawali komitmen kehidupan politik demokratis, mengikuti tuntutan zaman dan generasi, menegakkan kepastian hukum sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Seiring berjalannya waktu, Soeharto kepada Tutut beropini tentang makna demokrasi.
Baca Juga: Tentang Oetari, Janda Soekarno yang Masih Perawan Ternyata adalah Nenek Kandung Maia Estianty
Tutut bercerita tentang betapa ia bangga memiliki ayah seorang Soeharto, tak peduli bagaimana orang berkata.
"Pemilu, adalah tahap melaksanakan kedaulatan rakyat untuk menyalurkan aspirasi politiknya, sebagai warga Negara Indonesia, di dalam menegakkan asas berdemokrasi secara sehat", kata Tutut menirukan perkataan Soeharto.
Saat ia bertanya tentang "Sebenarnya Demokrasi yang sehat itu yang bagaimana pak?”
Pak Harto menjawab, "Ngene lho wuk, ada sebagian orang salah mengartikan Demokrasi itu. Menurut mereka, demokrasi itu boleh berbuat sesuka hati. Itu bukan Demokrasi namanya, tapi pemaksaan kehendak.”
Bagi Pak Harto, demokrasi adalam menyuarakan pendapat dengan rasa tanggung jawab yang besar.
Bukan asal bunyi, dan bersikap dewasa, demi menjaga persatuan bangsa.
“Yang dinamakan Demokrasi itu, bukan hanya sekedar kebebasan mengeluarkan pendapat, dan bukan pula sekedar kebebasan berbuat.
Demokrasi yang sehat memerlukan sikap mental yang dewasa dan rasa tanggung jawab yang besar, di dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, demi tetap tegaknya negara kesatuan republik indonesia, tanpa campur tangan negara lain.” ucap Pak Harto. (*)