Lebih lanjut Refly menjelaskan, proses pemberhentian presiden saat ini tidak semudah era Soekarno.
Mulanya Refli menjelaskan mengenai UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 169 huruf j yang berbunyi:
Baca Juga: Pakar Nilai Jokowi Mulai Kesal dengan Bawahannya Karena Merasa Dibohongi Terkait Pandemi Corona
"Yang dimaksud dengan "tidak melakukan perbuatan tercela" adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan norma adat, seperti jdui, mabuk, pecandu narkotika, dan zina."
Refly mengungkapkan pasal tersebut tidak bersifat limitatif, namun lebih kepada kepantasan.
"Sejauh mana perbuatan tercela itu dianggap tidak pantas dan presiden bisa dijatuhkan," jelasnya.
Refly mengatakan, berbohong bisa saja menjatuhkan presiden, tetapi kita harus melihat konteks berbohong yang seperti apa.
"Misalnya, konteks berbohongnya itu adalah konspirasi untuk menggelontorkan keuangan negara tanpa sebuah proses good governance atau clean government, bisa saja kemudian," lanjutnya.
"Memang celah ini adalah celah yang sangat dinamis," ungkap Rafly.
Kendati demikian, Rafly menegaskan bahwa pemberhentian presiden era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak semudah di era Bung Karno pada tahun 1967.