Sosok.ID - Timor Leste, negara bekas jajahan Portugis dan Indonesia ini, pernah menggegerkan dunia Internasional.
Timor Leste, mendeklarasikan kemerdekaannya dari Portugis pada 28 November 1975.
Tak berselang lama usai mendeklarasikan kemerdekaannya, pasukan Indonesia datang pada 7 Desember 1975.
Pada 1976, Indonesia menyatakan jika Timor Leste menjadi bagian negara Indonesia sebagai Provinsi Timor Timur.
Kesatangan pasukan Indonesia memicu konflik, masing-masing pasukan dari kedua belah pihak berguguran.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan, berupaya meredam konflik yang terjadi.
Dewan Keamanan PBB lantas menetapkan resolusi 1246 yaitu kesepakatan antara Indonesia, Portugis, dan PBB untuk menggelar referendum.
Referendum digelar di Timor Leste dengan dua pilihan, yakni menerima otonomi khusus untuk Timor Lestes dalam NKRI atau menolak otonomi khusus.
Hasil referendum menunjukkan sebanyak 94.388 penduduk atau 21,5 persen memilih tawaran otonomi khusus. Sementara, 344.580 penduduk atau 78,5 persen memilih untuk menolaknya.
Pada 30 Agustus 1999, Timor Leste lepas dari Indonesia dan menjadi sebuah negara baru.
Usai lepas dari Indonesia, Xanana Gusmao menjadi Presiden pertama Timor Leste.
Ia kemudian digantikan oleh Jose Ramos Horta pada Mei 2007 silam, dan menjadi Perdana Menteri Timor Leste saat itu.
Belum genap 10 tahun setelah melepaskan diri dari Indonesia, Timor Leste mengalami peristiwa kelam, menciptakan sejarah internasional lainnya.
Di usia jabatannya yang baru menginjak 9 bulan, Presiden Timor Leste saat itu, Jose Ramos Harto diserang oleh pasukan pemberontak di Timor Leste.
Dilansir dari Wikipedia, Para prajurit pemberontak Timur Leste menyatroni rumah Presiden dan Perdana Menteri Timor Leste pada 11 Februari 2008.
Membuat penembakan dan luka serius pada Presiden Jose Ramos Horta, menembak mobil Perdana Menteri (PM) Xanana Gusmao, dan penembakan fatal pemimpin pemberontakan Alfredo Reinado.
Aksi tersebut mengakibatkan Timor Leste menyatakan status darurat di negaranya selama beberapa bulan.
Keadaan darurat ini melarang Timor Leste berbagai macam aksi unjuk rasa dan mewajibkan diberlakukannya jam malam.
Melansir artikel Kompas.com edisi (14/2/2008), Beberapa pemberontak berlompatan keluar dari 2 kendaraan dan menyemburkan timah panas dari senjata mesinnya saat menyergap kediaman Presiden Timor Leste Ramos Horta di Dili, Senin, (11/2).
"Penghianat! Penghianat!" teriak pasukan pada Ramos Horta.
Seorang pengawal Ramos Horta berhasil menewaska pimpinan pemberontak Alfredo Reinado.
"Saya meneriakkan nama Alfredo dan kemudian menembak ke arah kepalanya dengan senjata mesin karena ia mengenakan rompi anti peluru," jelas pengawal tersebut, dikutip dari Kompas.com, Selasa (11/2/2020).
"Saya menembak Reinado beberapa kali, saya tidak tahu seberapa banyak," tambahnya.
Presiden Jose Ramos Horta mengalami luka tembak pada serangan bersenjata yang dilancarkan oleh pemimpin pemberontak Alfredo Reinado pada 11 Februari 2008.
Dalam serangan tersebut, pengawal Ramos Horta berhasil menembak mati Reinado.
Selang satu jam setelah berlangsungnya peristiwa tersebut, penyerang bersenjata di tempat terpisah menargetkan Perdana Menteri Xanana Gusmao.
Beruntung, Xanana Gusmao dilaporkan selamat dari serangan tanpa adanya luka sedikitpun.
Pemberontakan ini melibatkan sekitar 1.000 personil polisi dan tentara Australia, yang dikerahkan untuk memulihkan keamanan di Timor Leste.
Jumlah personil keamanan Australia itu belum mencakup jumlah personil keamanan PBB yang disebarkan di Timor Leste.
Berselang satu tahun setelah serangan, pada 2009, Timor Leste menetapkan 25 bekas personil militer dan tiga warga sipil sebagai tersangka dalam upaya pembunuhan Presiden Jose Ramos Horta.
Serangan itu telah meningkatkan kekhawatiran akan kembalinya Timor Leste ke dalam kekacauan setelah pertempuran di antara polisi, tentara, dan geng jalanan yang menyebabkan sedikitnya 37 orang tewas.
600 tentara pimpinan Reinado, mengakhiri pemberontakan usai ia tewas secara kharismatik di tangan pengawal Ramos Horta.
Setelah beberapa pekan sembuh dari lukanya, Horta mempertimbangkan untuk memaafkan para pelaku pemberontakan, demi menjaga negaranya agar tetap hidup dalam kedamaian.
(*)