"Tikiri bergabung dalam pawai awal setiap malam hingga larut malam setiap malam selama sepuluh malam berturut-turut, di tengah-tengah kebisingan, kembang api, dan asap," kata Lek Chailert.
Lek Chailert lantas terkejut ketika siang harinya melihat kondisi Tikiri.
Menyedihkan, itu yang dipikirkannya ketika melihat Tikiri tanpa kostum pawai.
"Dia berjalan beberapa kilometer setiap malam sehingga orang-orang akan merasa diberkati selama upacara. Tidak ada yang melihat tubuh kurusnya atau kondisinya yang melemah, karena kostumnya."
"Tidak ada yang melihat air mata di matanya, terluka oleh lampu-lampu terang yang menghiasi topengnya, tidak ada yang melihat kesulitannya melangkah ketika kakinya dibelenggu pendek saat dia berjalan."
"Untuk upacara, semua memiliki hak untuk berkeyakinan selama keyakinan itu tidak mengganggu atau merugikan orang lain." tambah Lek Chailert.
Tubuh Tikiri bagaikan tulang berbalut kulit saja.
Ia kurus, tua dan sakit-sakitan tapi masih dipaksa berjalan demi memberikan pemandangan menyenangkan bagi orang-orang.
"Bagaimana kita dapat menyebut ini suatu berkat, atau sesuatu yang suci, jika kita membuat hidup makhluk hidup lain menderita?"