Sosok.id - Hari ini 67 tahun lalu, tepatnya 23 Juli 1952, raja Mesir, Raja Farouk, yang saat itu memegang kekuasaan dikritik karena dianggap korupsi dan gagal memenangi perang.
Sebelum dikenal sebagai negara republik seperti saat ini, Mesir merupakan sebuah kerajaan.
Melansir Britannica, Selasa (23/7/2019), monarki Mesir didirikan oleh Inggris pada 1920-an.
Raja Farouk naik tahta menggantikan ayahnya, Raja Fu'ad I, pada 1936.
Baca Juga: Setelah Nunung, Giliran Artis Muda Jefri Nichol Diduga Ikut Terjerat Kasus Penyalahgunaan Narkoba
Farouk kehilangan kekuasaannya saat sekelompok perwira militer dan angkatan udara Mesir yang tergabung Society of Free Officers merencanakan revolusi untuk menyingkirkan Inggris dan rezim Mesir.
Beberapa perwira militer yang dipimpin oleh wakil komandan, Gamal Abdel Nasser dan Anwar Sadat, berusaha menggulingkan Farouk.
Mereka merasa kecewa karena kekalahan Mesir dalam perang Arab-Israel yang pertama.
Laman History menuliskan, untuk mendapat dukungan dari mereka yang tidak terlibat, Nasser memanfaatkan Mohammad Naguib, seorang jenderal yang sangat dihormati, untuk menjadi ujung tombak kudeta.
Dalam memoarnya, Farouk mengatakan, saat itu ia melihat sekelompok perwira yang terdiri dari 30-40 orang berjalan ke markas tentara.
Setelah itu, satu per satu dari mereka mengalahkan petugas yang sedang berjaga.
Mengutip Al Arabiya, para tentara yang membelot tadi segera menguasai militer.
Dalam satu hari, kendali militer beralih ke pihak Society of Free Officers.
Dengan para perwira yang mengendalikan sebagian besar militer, Farouk pun kehilangan kuasanya.
Namun, sama seperti orang yang berkuasa, Farouk memiliki sejumlah informan.
Dia memilih untuk berlindung di Istana Ras el-Tin di jantung kota Alexandria.
Farouk segera mengemas barang-barangnya.
Bersama dengan istri, ketiga anak, dan ajudannya, Farouk segera menuju ke istana dengan melewati jalan-jalan kota yang penuh dengan penjagaan.
Sehari setelahnya, tentara yang dipimpin kelompok ini segera berjalan ke Alexandria, tempat di mana sang raja tinggal.
Pada 25 Juli, mereka mengumumkan jam malam.
Selain itu, mereka juga akan menembaki seluruh orang dan kendaraan yang keluar di jalan-jalan Alexandria pada malam hari.
Setelah berada di dalam istana, mereka memutuskan segera beristirahat.
Dia lalu terbangun dan pergi ke balkon.
Di sana, Farouk ditembaki oleh dua anggota kelompok pemberontak yang mengepung.
Peluru-peluru yang ditembakkan hampir mengenai dirinya. Namun, tak lama kemudian, seorang pengawal Farouk membalas tembakan.
Tak berselang lama, ia juga mengambil senapan dan menembaki para pemberontak.
Sementara itu, para pengepung telah berhasil memotong saluran telepon istana.
Meksi begitu, Farouk masih bisa menghubungi perdana menteri, Ali Maher, melalui saluran telepon darurat yang ia simpan.
Selain Maher, ia juga menghubuni duta besar AS untuk Mesir, Jeferson Carey dan memintanya menggunakan semua pengaruh untuk membantu keluarga kerajaan yang terkepung.
Sikap AS terhadap Kairo pada waktu itu tidak terlalu positif, karena ketidaksukaan pemerintah Amerika terhadap Farouk.
Namun, mereka meloloskan keinginan Farouk dan meminta para pengepung untuk tidak melukai raja beserta keluarganya.
Kala itu, Sadat kemudian menulis ultimatum resmi di kantor Maher bahwa raja harus turun tahta dan meninggalkan Mesir pada pukul 6 sore pada tanggal 26 Juli.
Namun Farouk mengajukan syarat. Ia akan mundur hanya jika sura-surat pengunduran durunya formal dan konstitusional.
Selain itu, ia pun meminta diizinkan pergi dengan kehormatan militer penuh.
Keluarga itu akhirnya pergi dengan kapal pesiar kerajaan, Mahroussa, hanya enam jam setelah Farouk menandatangani pengunduran dirinya.
Setelah itu, dia dipaksa turun tahta dan menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Muhammad Naguib.
Saat turun tahta, Farouk kala itu berusia 32 tahun dan telah berkuasa selama 16 tahun. Pada tahun 1954, Nasser muncul dari balik layar, menyingkirkan Naguib dari kekuasaan, dan menyatakan dirinya sebagai perdana menteri Mesir.
Selama dua tahun berikutnya, Nasser memerintah sebagai pemimpin yang populer.
Ia juga mengumumkan konstitusi baru yang menjadikan Mesir sebagai negara Arab sosialis.
(Rosiana Haryanti)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Hari Ini 67 Tahun Lalu, Raja Terakhir Mesir Kehilangan Kekuasaan
(*)