Makanya Dimusuhi Banyak Negara Hingga Indonesia Ikut Menjauhi, Cara Licik China Gerogoti Bangsa Lain dengan Utang Bikin Geleng Kepala

Minggu, 04 April 2021 | 16:50
Kementrian Pertahanan RRC dan Presidential Palace

Makanya Dimusuhi Banyak Negara Hingga Indonesia Ikut Menjauhi, Cara Licik China Gerogoti Bangsa Lain dengan Utang Bikin Geleng Kepala

Sosok.ID - China kini tengah jadi sorotan banyak negara setelah Tiongkok dianggap berpengaruh dalam perubahan yang ada di dunia internasional.

Salah satunya adalah negara ini merupakan kreditur terbesar bagi negara negara berkembang.

Dan yang menjadi sorotan adalah cara China dalam meminjamkan pinjaman cukup membuat negara-negara maju geram.

Hal itu lantaran Beijing disebut menetapkan kondisi khusus yang membuka peluang campur tangan terhadap banyak hal pada negara peminjam.

Baca Juga: Segera, China Akan Serang Taiwan dengan Kekuatan Penuh

Di antarannya yakni campur tanggan China terhadap kebijakan keuangan dan luar negeri negara yang meminjam tersebut.

Mengutip dari Kompas.com yang melansir dari Institute for the World Economi (IfW) di Kiel, Jerman setidaknya ada 100 perjanjian utang yang dilakukan China.

Perjanjian utang tersebut melibatkan 24 negara berkembang hingga pertengahan pekan ini.

Studi ini adalah analisis sistematis pertama terhadap praktik pemberian kredit luar negeri bersyarat oleh China.

Baca Juga: Perang Laut China Selatan, AS Minta Bantuan Prabowo Subianto, Indonesia Diingatkan untuk Latihan yang Lebih Besar!

Kontrak perjanjian biasanya "menggunakan desain kreatif untuk mengelola risiko kredit dan menembus hambatan hukum,” tulis IfW, yang menilai China sebagai "kreditur yang berotot dan komersial di dunia berkembang.”

Kebanyakan arus kredit dikucurkan untuk membiayai proyek infrastruktur, yang terhubung dengan jaringan Belt and Road Iniative, sebuah proyek infrastruktur raksasa yang menghubungkan China dengan 60 negara di dunia.

Yang lebih mengejutkan, China juga menerapkan sumpah kerahasiaan pada setiap peminjam utang.

Hal ini dikutip dari DW yang menemukan fakta mengejutkan bank-bank China yang menerapkan persyaratan melebihi batas komersial menurut catatan di atas.

Baca Juga: Makanya Tiongkok Tak Berani Usik Indonesia di Laut China Selatan, Prabowo Ungkap Strategi Militer 'Garuda Sheild' yang Buat Menteri Pertahanan AS Terkejut: Peluang Tingkatkan Kerjasama

"Syarat-syarat itu bisa menggandakan pengaruh kreditur terhadap kebijakan ekonomi dan luar negeri debitur.”

Salah satunya adalah China bisa membatalkan sepihak utang yang diberikan pada suatu negara bila negara tersebut sedang tidak baik-baik saja dalam hal kebijakan hukum dan politiknya.

Selain itu, China diperbolehkan meminta pelunasan utang seketika itu juga bila ada masalah dengan negara peminjam.

Meski klausul perubahan politik tergolong lumrah dalam kontrak kredit, para peneliti menilai situasinya menjadi genting ketika pemberi pinjaman adalah aktor negara, bukan perusahaan swasta yang tunduk pada regulasi keuangan. Kontrak-kontrak itu juga mengandung "klausul kerahasiaan dengan cakupan luas dan tidak lazim,” tulis para peneliti.

Baca Juga: Tak Tanggung-tanggung, Persiapan Perang Lawan Amerika, China Kerahkan Semua Kekuatan Tempur

"Kebanyakan kontrak itu mengandung atau mencantumkan janji debitur untuk merahasiakan perjanjian.”

"Warga di negara peminjam tidak bisa mengawasi pemerintahnya dalam perjanjian utang rahasia.” Dalam perjanjian itu, China bisa membatalkan kontrak jika tidak setuju dengan kebijakan politik negara peminjam, atau dalam kasus memburuknya hubungan diplomasi.

Studi itu juga menemukan bahwa 30 persen kontrak utang China mensyaratkan negara peminjam untuk menyimpan uang jaminan di bank milik pemerintah China.

Praktik pinjaman gelap yang dilakukan oleh China ini pun diprediksi bakal marak terjadi mengingat krisis ekonomi gegara pandemi virus corona.

"Mengingat risiko yang besar, syarat dan kondisi kontrak utang China menjadi kepentingan dunia internasional,” demikian lanjut para peneliti.

Baca Juga: Filipina Pergoki Bangunan Ilegal Milik China yang Berada di Pulaunya

Tapi tidak semua menyetujui anggapan bahwa Beijing adalah kreditur lalim. "Narasi ‘diplomasi jebakan utang' menggambarkan China sebagai kreditur yang jahat dan negara seperti Sri Lanka sebagai korban,” tulis Deborah Bräutigam dari Johns Hopkins University dan Meg Rithmire dari Harvard Business School, dalam sebuah artikel untuk The Atlantic.

Menurut kedua guru besar ilmu politik itu, pinjaman sering kali bersifat mendesak bagi negara berkembang.

Mereka mencontohkan Sri Lanka yang meminjam uang dari China untuk membenahi pelabuhan internasionalnya yang sudah usang.

"Ekspansi China ke luar negeri, serupa dengan program pembangunan domestiknya, lebih bersifat uji coba dan eksperimental, sebuah proses pembelajaran yang ditandai dengan koreksi yang konstan dilakukan.”

(*)

Editor : Andreas Chris Febrianto Nugroho

Sumber : Kompas.com, DW

Baca Lainnya