Sosok.ID - Suku Naulu di Pulau Seram, Maluku adalah salah satu suku tertua di Indonesia yang masih menjalankan hidup tradisional.
Lokasi tempat tinggal mereka yang di berada di dalam hutan dan jauh dari perkotaan membuat Suku Naulu Pulau Seram masih memiliki gaya hidup yang cukup primitif dan sedikit ekstrem.
Salah satu tradisi primitif Suku Naulu di Pulau Seram yang cukup ekstrem adalah mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawin dalam prosesi pernikahan.
Melansir Kompas.com dan Tribun Jambi, Suku Naulu tinggal di bagian selatan Pulau Seram, Maluku tepatnya di dua Negeri atau Dusun Sepa dan Nuanea.
Suku Naulu yang tinggal di Dusun Sepa memiliki kehidupan yang cenderung modern karena dekat dengan kehidupan perkotaan.
Sedangkan Suku Naulu yang tinggal di Dusun Nuanea cenderung masih primitif dan tertutup dengan perubahan dunia luar.
Dan tak seperti penduduk Indonesia pada umumnya, Suku Naulu tidak memeluk agama apapun.
Mereka memiliki kepercayaan terhadap roh leluhur atau nenek moyang yang telah diwariskan secara turun termurun.
Tak hanya itu, Suku Naulu rupanya juga dikenal sebagai salah satu suku primitif tertua di Indonesia yang memiliki adat tradisi yang cukup mengerikan bagi sebagian orang.
Adalah tradisi memenggal kepala orang dan mempersembahkannya sebagai mas kawin dalam prosesi pernikahan sebagai bukti kejantanan.
Tradisi penggal kepala orang inilah yang membuat Suku Naulu dianggap sebagai penduduk primitif.
Tradisi penggal kepala orang ini adalah salah satu adat istiadat yang wajib dilakukan untuk menghindari bahaya atau musibah.
Memburu dan memenggal kepala orang juga dianggap sebagai tradisi yang memperkuat simbol kekuasaan dan menunjukkan kejantanan para pria dalam Suku Naulu.
Kepala manusia adalah simbol yang penting dan cukup sakral di dalam adat istiadat Suku Naulu.
Biasanya kepala manusia atau tengkorak kepala manusia digunakan dalam berbagai acara penting sebagai ritual persembahan kepada Dewa.
Misalnya saja dalam upacara peresmian rumah adat atau yang paling ekstrem adalah persembahan mas kawin dalam prosesi pernikahan.
Ya, dilansir Sosok.ID dari National Geographic Indonesia, kepala manusia acap kali digunakan sebagai persembahan mas kawin dalam prosesi pernikahan Suku Naulu.
Pada zaman dahulu, Raja Suku Naulu menggunakan cara ini untuk memilih menantu laki-laki yang pantas untuk dinikahkan dengan putrinya.
Kepala manusia yang dipersembahkan dianggap dapat menunjukkan kejantanan para pria Suku Naulu.
Tak hanya digunakan dalam prosesi pernikahan, tradisi berburu dan memenggal kepala manusia juga dilakukan sebagai ritual kedewasaan pria Suku Naulu.
Bagi remaja yang berhasil memenggal kepala seseorang, mereka akan mengenakan ikat kepala merah sebagai simbol kedewasaan.
Melansir National Geographic Indonesia, tradisi mengerikan ini sempat dinyatakan punah pada awal tahun 1900-an.
Namun beberapa sumber menyebut bila tradisi berburu dan penggal kepala manusia ini masih aktif dilakukan hingga tahun 1940-an.
Bertahun-tahun berlalu, moderenisasi semakin maju dan tradisi ini pun tak lagi terdengar bak di telan bumi.
Hingga akhirnya, melansir Tribun Jambi, pada tahun 2005 ditemukan dua mayat tanpa kepada di Kecamatan Amahai, Maluku Tengah.
Kedua mayat tanpa kepala tersebut berhasil diidentifikasi polisi bernama Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane.
Saat ditemukan, tubuh Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane sudah dalam kondisi yang mengenaskan dengan bagian tubuh yang terpotong-potong.
Dikutip dari Tribun Jambi, Selasa (27/8/2019) berdasarkan hasil penyelidikan, Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane dibunuh oleh Suku Naulu.
Diduga pembunuhan ini terjadi lantaran kedua kepala korban digunakan untuk persembahan kepada leluhur.
Pihak kepolisian pun menyebut bahwa pelaku merupakan warga Suku Naulu dengan marga Sounawe.
Mereka membunuh Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane untuk dipersembahkan kepada leluhur dalam upacara ritual memperbaiki rumah adat.
Pelaku yang bernama Patti Sounawe, Nusy Sounawe, dan Sekeranane Soumorry dijatuhi hukuman mati oleh negara.
Sedangkan tiga pelaku lainnya yang bernama Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan Sumon Sounawe dipenjara seumur hidup.
Sejak kejadian ini, lembaga hukum berusaha untuk melakukan sosialisasi kepada semua pihak tentang adanya hukuman tegas bagi tindakan pembunuhan.
Kini, tradisi penggal kepala telah dihapus dan tidak terdengar lagi adanya korban yang menjadi persembahan.
(*)